What's New Here?



SELAMAT DATANG GURU MULIA...

Berikut ini saya sampaikan jadwal kegiatan dan kunjungan Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz , Pengasuh Daarul Musthafa Tarim Hadhramaut, yang insya Allah akan datang ke bumi Indonesia di penghujung Tahun 2009 dan awal Tahun 2010.


Kamis, 31 Desember 2009

§ Tabligh Akbar di Senayan



Jumat, 1 Januari 2010

§ Khutbah di Al Hawi

§ Ashar – kunjungan di kediaman Habib Zen Umar Smith

§ Maghrib – kunjungan di kediaman Alm. Habib Umar Mulachela – Kemang



Sabtu, 2 Januari 2010

§ Kunjungan ke rumah Habib Muhamad bin Husin al Hamid

§ Ashar – di Luar Batang

§ Maghrib – rauhah di Cidodol



Minggu, 3 Januari 2010

§ Pagi – Haul di Cidodol

§ Sore – kunjungan ke tempat Habib Jindan di Al Fakhriyah



Senin, 4 Januari 2010

§ Pagi – kunjungan ke tempat Habib Husin bin Ali Alatas

§ Dzuhur - kunjungan ke tempat Habib Ali Sewoon

§ Sore – Kunjungan ke Rabithah Alawiyah

§ Maghrib – kunjungan ke tempat Habib Mundzir al Musawa



Selasa, 5 Januari 2010

§ Pagi – Ijtima Ulama di Jakarta

§ Multaqo Ulama di Bogor



Rabu, 6 Januari 2010

§ Wisma DPR – Puncak



Kamis, 7 Januari 2010

§ Pagi – penutupan mulataqo

§ Ashar – di Empang Bogor

§ Isya – kunjungan ke tempat Habib Abdurrahman bin Syekh Alatas



Jumat dan Sabtu, 8 dan 9 Januari 2010

§ Surabaya



Minggu, 10 Januari 2010

§ Kwitang



*) Jadwal lebih lengkap akan diberitahukan kemudian

*) Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu

sumber: rabithah.net

Jadwal Kunjungan Habib Umar bin Hafidz 31 Desember 2009 – 10 Januari 2010

Posted by Admin



SELAMAT DATANG GURU MULIA...

Berikut ini saya sampaikan jadwal kegiatan dan kunjungan Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz , Pengasuh Daarul Musthafa Tarim Hadhramaut, yang insya Allah akan datang ke bumi Indonesia di penghujung Tahun 2009 dan awal Tahun 2010.


Kamis, 31 Desember 2009

§ Tabligh Akbar di Senayan



Jumat, 1 Januari 2010

§ Khutbah di Al Hawi

§ Ashar – kunjungan di kediaman Habib Zen Umar Smith

§ Maghrib – kunjungan di kediaman Alm. Habib Umar Mulachela – Kemang



Sabtu, 2 Januari 2010

§ Kunjungan ke rumah Habib Muhamad bin Husin al Hamid

§ Ashar – di Luar Batang

§ Maghrib – rauhah di Cidodol



Minggu, 3 Januari 2010

§ Pagi – Haul di Cidodol

§ Sore – kunjungan ke tempat Habib Jindan di Al Fakhriyah



Senin, 4 Januari 2010

§ Pagi – kunjungan ke tempat Habib Husin bin Ali Alatas

§ Dzuhur - kunjungan ke tempat Habib Ali Sewoon

§ Sore – Kunjungan ke Rabithah Alawiyah

§ Maghrib – kunjungan ke tempat Habib Mundzir al Musawa



Selasa, 5 Januari 2010

§ Pagi – Ijtima Ulama di Jakarta

§ Multaqo Ulama di Bogor



Rabu, 6 Januari 2010

§ Wisma DPR – Puncak



Kamis, 7 Januari 2010

§ Pagi – penutupan mulataqo

§ Ashar – di Empang Bogor

§ Isya – kunjungan ke tempat Habib Abdurrahman bin Syekh Alatas



Jumat dan Sabtu, 8 dan 9 Januari 2010

§ Surabaya



Minggu, 10 Januari 2010

§ Kwitang



*) Jadwal lebih lengkap akan diberitahukan kemudian

*) Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu

sumber: rabithah.net


TURUT BERDUKA CITA SEDALAM-DALAMNYA ATAS MENINGGALNYA GURU KITA ROMO KYAI HAJI AHMAD ASRORI AL-ISHAQI

Mursyid (guru) Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah Jawa Timur dan pengasuh Pesantren Al-Fitroh, Kedinding Lor, Semampir, Surabaya K.H. Ahmad Asrori Utsman Al-Ishaqi, meninggal dunia, selasa, sekitar pukul 02.20 WIB. KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pada pukul 02.20 WIB karena sakit komplikasi yang dideritanya selama ini. Dia sempat dioperasi dan menjalani check up di Singapura sebelum meninggal dunia.

Kita kehilangan ulama dan guru yang aktif mengembangkan ajaran `Ahlussunnah wal Jamaah` melalui tarekat

Kyai Asrori merupakan putra keenam dari mursyid tarekat KH. Utsman yang merupakan generasi penerus ayahandanya untuk mengajar tarekat kepada masyarakat, sehingga jemaahnya mencapai puluhan ribu orang.

Beliau memang sudah lama sakit, bahkan akhir-akhir ini beliau sudah tidak boleh keluar rumah, karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Tapi beliau selalu hadir dalam kegiatan PW NU Jatim, meski bukan pengurus struktural, karena itu kita sangat kehilangan.

Kyai Asrori merupakan ulama kharismatik yang ikhlas dan jujur dalam mengembangkan tarekat, karena itu jemaahnya berasal dari berbagai kalangan mulai dari petani hingga pejabat, bahkan dia tidak membedakan penghormatan kepada jemaah yang bertamu.


Beliau mampu menyatukan umat dari seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara lewat tarekat. Kalau ceramah, beliau sangat menyejukkan.

Almarhum mengasuh ratusan santri di Pesantren Al-Fitroh yang berdiri di atas lahan seluas 2,5 hektare yang memiliki bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri, dan bangunan masjid yang cukup besar.

Meninggalnya pimpinan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, KH Achmad Asrori El Ishaqi RA pada Selasa (18/8/2009) membuat ribuan santri dan jamaahnya kehilangan sosok kharismatik. Tidak sedikit pula yang harus meneteskan air mata.

Ribuan jamaah dari seluruh pelosok Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong dan Australia berdatangan dan memenuhi masjid areal ponpes untuk melantunkan doa tahlil dan Yasinan di depan pusara makam Pimpinan Tarekat Qodiriyah Wanaqsabandiyah Al Usmaniyah.

Arus lalu lintas pun padat. Jalan Kedinding Lor dipenuhi oleh lautan manusia yang beranjak pergi dari ponpes usai melayat Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pukul 02.20 WIB, Selasa (18/8/2009) dini hari tadi.

KH Asrori meninggalkan satu orang istri bernama Hj Sulistyowati dan lima orang anak (2 laki, 3 putri). Yakni, Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien dan Siela Assabarina.

Beliau meninggal sekitar pukul 02.00 dini hari tadi dan dimakamkan di dalam serambi masjid kompleks ponpes pukul 10.00. Sebelumnya, mengalami sakit komplikasi dan kanker yang dideritanya selama 4 tahun. Sejak 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, beliau dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya.

Berapa usia KH Asrori saat meninggal? Uniknya, tidak ada satu pun kerabat atau orang dekat yang berani memastikan kapan tanggal lahir KH Asrori dan meninggal di usia berapa. Pasalnya, berdasarkan pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, KH Asrori memiliki tiga buah paspor dan tanggal lahir yang berbeda-beda.


Ponpes Assalafi Al Fithrah, menurut Wisjnubroto, berdiri sekitar tahun 1988-1989. Memiliki santri yang bermukim di areal ponpes sebanyak 1.800 orang putra-putri. Tetapi, di luar ponpes jumlahnya puluhan ribu orang hingga luar negeri.

Seusai acara Haul Akbar di Ponpes Al-Fithrah pada 25-26 Juli 2009 lalu, kesehatan beliau mengalami penurunan dan mengaku kelelahan. Oleh karena itu, pada 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, KH Asrori dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Pada 16 Agustus 2009, beliau pulang ke rumah dan pada hari Selasa (18/8/2009) dini hari dipanggil Allah SWT.

Sejumlah karangan bunga dukacita juga banyak terpasang di kediaman dan masjid ponpes. Di antaranya dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam, Kapolwil Kombes Pol Roni F Sompie, Kapolres Surabaya Timur AKBP Samudi, Walikota Surabaya Bambang DH, Wawali Arif Afandi, Sekkota Surabaya Soekamto Hadi, Kakanwil Depag Jatim Imam Haromain dan Kapolda Sumut Irjen Pol Badrodin Haiti. Gubernur Jatim Soekarwo pun mendatangi rumah duka KH Achmad Asrori di Kedinding Lor bersama sejumlah pejabat Pemprov Jatim diantaranya Asisten III Akmal Budianto, Kepala Biro Spritual Torik Effendi.


Prosesi pemakaman Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di Kedinding Lor KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi diwarnai adu dorong santri dan petakziyah. Mereka berebut agar bisa menyentuh keranda jenazah kiai kharimastik itu. Saat keranda berisi jenazah KH ASRORI diusung menuju ke pemakamannya di bagian Barat kompleks Masjid Ponpes Sallafiyah Al Fitrahm ribuan santri dan pelayat berebut hendak memegangnya. Bahkan sampai kyai tersebut dimakamkan, masih banyak pelayat yang juga ingin membawa tanah pemakamannya.

Para panitia prosesi pemakaman kewalahan menahan aksi saling dorong antara santri dan para pelayat. Panitia meminta kepada santri dan petakziyah untuk kembali duduk sambil membacakan zikir dan tahlil.

Usai disalati, jenazah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Al Fithrah pada pukul 10.30 WIB, Selasa (18/8/2009).


Kiai Asrori dikenal sebagai kiai thoriqot di lingkungan NU. Umatnya mencapai ribuan dan aktifitas thoriqot yang dipimpinnya seringkali digelar di berbagai kota di Pulau Jawa maupun provinsi lainnya di Indonesia. Selama ini, beliau itu cukup lama sakit kendati usianya belum begitu tua. Ya sekitar 59 tahun atau 60 tahun.

Kita menyatakan duka cita mendalam atas wafatnya tokoh thoriqot tersebut. Kiai Asrori adalah ulama kharismatik, menjadi panutan ribuan umat, dan istiqomah dengan pengabdiannya kepada masyarakat.

Sebagai tokoh strategis bidang thoriqot fatwa dan pandangan Kiai Asrori sangat diperhatikan dan dipatuhi umatnya. Thoriqot yang dipimpinnya bersifat apolitis. Yang diutamakan adalah membina masyarakat melalui jalur kultural, sosial, dan keagamaan serta jauh dari tarikan politik kekuatan mana pun.

Kegiatan thoriqot yang dilakukan Kiai Asrori itu adalah wujud aplikasi tasawuf yang sangat dijunjung tinggi di kalangan kiai dan warga NU. Sanadnya itu sampai ke Syech Abdul Qodir Jaelani.

Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan maupun penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS Lafayat Malang


Sementara Jalan Kedinding Lor ditutup total. Pasalnya jalan itu dipadati oleh para pelayat maupun kendaraan baik roda dua dan roda empat. Bahkan di Jalan Kedung Cowek atau jalan akses menuju Jembatan Suramadu digunakan sebagai parkir kendaraan pelayat.

INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI’UUN…YAA.. ALLAH…GURU KAMI TELAH ENGKAU PANGGIL… SEMOGA ENGKAU AMPUNI DOSA-DOSA KAMI YAA.ALLAH…DAN ENGKAU JADIKAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA KAMI DENGAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA BELIAU YAA.. ALLAH..AMIIN.

SELAMAT JALAN YAI,,….

Berikut salah satu koleksi saya, ceramah kyai asrori al-ishaqi yg saya rekam dari Radio Rasika FM Semarang. (DOWNLOAD !!)













KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi Telah Berpulang ke Rahmatullah 18/08/09

Posted by Admin


TURUT BERDUKA CITA SEDALAM-DALAMNYA ATAS MENINGGALNYA GURU KITA ROMO KYAI HAJI AHMAD ASRORI AL-ISHAQI

Mursyid (guru) Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah Jawa Timur dan pengasuh Pesantren Al-Fitroh, Kedinding Lor, Semampir, Surabaya K.H. Ahmad Asrori Utsman Al-Ishaqi, meninggal dunia, selasa, sekitar pukul 02.20 WIB. KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pada pukul 02.20 WIB karena sakit komplikasi yang dideritanya selama ini. Dia sempat dioperasi dan menjalani check up di Singapura sebelum meninggal dunia.

Kita kehilangan ulama dan guru yang aktif mengembangkan ajaran `Ahlussunnah wal Jamaah` melalui tarekat

Kyai Asrori merupakan putra keenam dari mursyid tarekat KH. Utsman yang merupakan generasi penerus ayahandanya untuk mengajar tarekat kepada masyarakat, sehingga jemaahnya mencapai puluhan ribu orang.

Beliau memang sudah lama sakit, bahkan akhir-akhir ini beliau sudah tidak boleh keluar rumah, karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Tapi beliau selalu hadir dalam kegiatan PW NU Jatim, meski bukan pengurus struktural, karena itu kita sangat kehilangan.

Kyai Asrori merupakan ulama kharismatik yang ikhlas dan jujur dalam mengembangkan tarekat, karena itu jemaahnya berasal dari berbagai kalangan mulai dari petani hingga pejabat, bahkan dia tidak membedakan penghormatan kepada jemaah yang bertamu.


Beliau mampu menyatukan umat dari seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara lewat tarekat. Kalau ceramah, beliau sangat menyejukkan.

Almarhum mengasuh ratusan santri di Pesantren Al-Fitroh yang berdiri di atas lahan seluas 2,5 hektare yang memiliki bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri, dan bangunan masjid yang cukup besar.

Meninggalnya pimpinan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, KH Achmad Asrori El Ishaqi RA pada Selasa (18/8/2009) membuat ribuan santri dan jamaahnya kehilangan sosok kharismatik. Tidak sedikit pula yang harus meneteskan air mata.

Ribuan jamaah dari seluruh pelosok Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong dan Australia berdatangan dan memenuhi masjid areal ponpes untuk melantunkan doa tahlil dan Yasinan di depan pusara makam Pimpinan Tarekat Qodiriyah Wanaqsabandiyah Al Usmaniyah.

Arus lalu lintas pun padat. Jalan Kedinding Lor dipenuhi oleh lautan manusia yang beranjak pergi dari ponpes usai melayat Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pukul 02.20 WIB, Selasa (18/8/2009) dini hari tadi.

KH Asrori meninggalkan satu orang istri bernama Hj Sulistyowati dan lima orang anak (2 laki, 3 putri). Yakni, Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien dan Siela Assabarina.

Beliau meninggal sekitar pukul 02.00 dini hari tadi dan dimakamkan di dalam serambi masjid kompleks ponpes pukul 10.00. Sebelumnya, mengalami sakit komplikasi dan kanker yang dideritanya selama 4 tahun. Sejak 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, beliau dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya.

Berapa usia KH Asrori saat meninggal? Uniknya, tidak ada satu pun kerabat atau orang dekat yang berani memastikan kapan tanggal lahir KH Asrori dan meninggal di usia berapa. Pasalnya, berdasarkan pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, KH Asrori memiliki tiga buah paspor dan tanggal lahir yang berbeda-beda.


Ponpes Assalafi Al Fithrah, menurut Wisjnubroto, berdiri sekitar tahun 1988-1989. Memiliki santri yang bermukim di areal ponpes sebanyak 1.800 orang putra-putri. Tetapi, di luar ponpes jumlahnya puluhan ribu orang hingga luar negeri.

Seusai acara Haul Akbar di Ponpes Al-Fithrah pada 25-26 Juli 2009 lalu, kesehatan beliau mengalami penurunan dan mengaku kelelahan. Oleh karena itu, pada 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, KH Asrori dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Pada 16 Agustus 2009, beliau pulang ke rumah dan pada hari Selasa (18/8/2009) dini hari dipanggil Allah SWT.

Sejumlah karangan bunga dukacita juga banyak terpasang di kediaman dan masjid ponpes. Di antaranya dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam, Kapolwil Kombes Pol Roni F Sompie, Kapolres Surabaya Timur AKBP Samudi, Walikota Surabaya Bambang DH, Wawali Arif Afandi, Sekkota Surabaya Soekamto Hadi, Kakanwil Depag Jatim Imam Haromain dan Kapolda Sumut Irjen Pol Badrodin Haiti. Gubernur Jatim Soekarwo pun mendatangi rumah duka KH Achmad Asrori di Kedinding Lor bersama sejumlah pejabat Pemprov Jatim diantaranya Asisten III Akmal Budianto, Kepala Biro Spritual Torik Effendi.


Prosesi pemakaman Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di Kedinding Lor KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi diwarnai adu dorong santri dan petakziyah. Mereka berebut agar bisa menyentuh keranda jenazah kiai kharimastik itu. Saat keranda berisi jenazah KH ASRORI diusung menuju ke pemakamannya di bagian Barat kompleks Masjid Ponpes Sallafiyah Al Fitrahm ribuan santri dan pelayat berebut hendak memegangnya. Bahkan sampai kyai tersebut dimakamkan, masih banyak pelayat yang juga ingin membawa tanah pemakamannya.

Para panitia prosesi pemakaman kewalahan menahan aksi saling dorong antara santri dan para pelayat. Panitia meminta kepada santri dan petakziyah untuk kembali duduk sambil membacakan zikir dan tahlil.

Usai disalati, jenazah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Al Fithrah pada pukul 10.30 WIB, Selasa (18/8/2009).


Kiai Asrori dikenal sebagai kiai thoriqot di lingkungan NU. Umatnya mencapai ribuan dan aktifitas thoriqot yang dipimpinnya seringkali digelar di berbagai kota di Pulau Jawa maupun provinsi lainnya di Indonesia. Selama ini, beliau itu cukup lama sakit kendati usianya belum begitu tua. Ya sekitar 59 tahun atau 60 tahun.

Kita menyatakan duka cita mendalam atas wafatnya tokoh thoriqot tersebut. Kiai Asrori adalah ulama kharismatik, menjadi panutan ribuan umat, dan istiqomah dengan pengabdiannya kepada masyarakat.

Sebagai tokoh strategis bidang thoriqot fatwa dan pandangan Kiai Asrori sangat diperhatikan dan dipatuhi umatnya. Thoriqot yang dipimpinnya bersifat apolitis. Yang diutamakan adalah membina masyarakat melalui jalur kultural, sosial, dan keagamaan serta jauh dari tarikan politik kekuatan mana pun.

Kegiatan thoriqot yang dilakukan Kiai Asrori itu adalah wujud aplikasi tasawuf yang sangat dijunjung tinggi di kalangan kiai dan warga NU. Sanadnya itu sampai ke Syech Abdul Qodir Jaelani.

Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan maupun penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS Lafayat Malang


Sementara Jalan Kedinding Lor ditutup total. Pasalnya jalan itu dipadati oleh para pelayat maupun kendaraan baik roda dua dan roda empat. Bahkan di Jalan Kedung Cowek atau jalan akses menuju Jembatan Suramadu digunakan sebagai parkir kendaraan pelayat.

INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI’UUN…YAA.. ALLAH…GURU KAMI TELAH ENGKAU PANGGIL… SEMOGA ENGKAU AMPUNI DOSA-DOSA KAMI YAA.ALLAH…DAN ENGKAU JADIKAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA KAMI DENGAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA BELIAU YAA.. ALLAH..AMIIN.

SELAMAT JALAN YAI,,….

Berikut salah satu koleksi saya, ceramah kyai asrori al-ishaqi yg saya rekam dari Radio Rasika FM Semarang. (DOWNLOAD !!)













Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, (dekat Makassar) pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf.
Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak.
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.


Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.


SYEIKH YUSUF AL-MAKASSARI

Posted by Admin

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, (dekat Makassar) pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf.
Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak.
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.


Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.



Lahir: Al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nuruddin bin Haji Marbu bin Abdullah Thayyib حفظه الله dilahirkan pada tanggal 1 September 1960M di sebuah desa yang bernama Harus di Amuntai, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Anak ketiga dari tujuh bersaudara. Lahir dari sebuah keluarga yang taat beragama. Bonda beliau bernama Hajjah Rahmah binti Haji Muhammad Sobri (meninggal dunia pada 1984) adalah puteri dari seorang tokoh ulama besar di Kalimantan Selatan.

Pendidikan: Beliau belajar membaca la-Quran dari nenek beliau, ibu saudara beliau (Rokiah dan Zainab) dan kakak beliau (Ruminah). Manakala perdidikan formal beliau dapati di sekolah rendah di kampung Harus. Kemudian pada tahun 1974 beliau belajar di Pondok Pesantren Normal Islam – Rasyidiah Khalidiah - . Pengajian beliau disini tidak lama seluruh keluarga beliau telah berhijrah ke tanah suci Makkah dan menetap disana.

Pada tahun itu juga (1974) beliau meneruskan pengajiannya di Madrasah Shaulathiah al-Hindiyah [sejarah penubuhan madrasah ini boleh didapati disini] sehingga tahun 1982. Selain itu beliau juga mengikuti pengajian yang diadakan umum di Masjidiharam dan juga dirumah para masyaikh.

Pada tahun 1982 beliau telah menamatkan pengajiannya dengan kepujian mumtaz (cemerlang) di Madrasah Shaulathiah. Di samping belajar, beliau juga beliau turut mencurahkan ilmunya kepada para pelajar dari Indonesia. Beliau telah mengajarkan kitab Qatrunnada, Fathul Mu'in, 'Umdatussalik, Bidayatul Hidayah dan lain-lain sebelum naik ke kelas 'Aliyah.

Beliau merupakan murid kesayangan gurunya asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani رحمه الله . Dan guru inilah yang banyak mewarnai dalam kehidupan beliau. Tuan guru beliau ini banyak meluangkan waktunya yang berharga untuk beliau dan sering mengajak beliau untuk menemaninya ke Madinah bagi menghadiri program agama dan juga menziarahi maqam baginda Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Sewaktu menceritakan pada abuzahrah perihal Tuan Guru yang dikasihinya ini … beliau kelihatan sebak dan matanya kemerahan menahan sedih.

Beliau mencurahkan segala usaha dan tenaganya serta dirinya mendekati para masyaikh untuk berkhidmat dan juga membekali diri dengan ilmu daripada guru-gurunya. Pernah beliau berkata kepada abuzahrah, apa yang beliau nikmati kini adalah hasil dari keberkatan doa para masyaikh yang beliau telah berkhidmat kepada mereka. Dan kini beliau dapati pula apa yang pernah beliau berikan kepada para guru beliau dahulu.

Beliau amat gigih dalam belajar, maka tidak hairanlah kalau beliau mendapat tempat di hati para gurunya. Sebut sahaja ulama' yang ada di Mekah khususnya pasti beliau pernah berguru dengan mereka. Siapa yang tidak mengenali tokoh ulama' yang harum nama mereka disebut orang semisal Syaikh al-Allamah Hasan al-Masyath yang digelar Syaikh-ul-Ulama', Syaikh al-Allamah Muhammad Yasin al-Fadani, yang mendapat julukan Syaikhul Hadits wa Musnidud-dunya, Syaikh Ismail Usman Zin al-Yamani yang digelar al-Faqih ad-Darrakah (guru beliau ini menghafal kitab Minhajut Tholibin), Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili al-Anfanani, as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, Syaikh Said al-Bakistani dan masih banyak lagi. Kata pepatah arab “cakap sahaja tanpa perlu khuatir”.

Kitab-kitab yang dipelajari beliau bersambung sanadnya hingga kepada pengarang, masyaAllah betapa hebat dan beruntungnya umur beliau dan segala-galanya yang diberikan oleh Allah, tidak salah kalau dikatakan ilmu beliau lebih tua dari umurnya.

Pada tahun 1983 beliau telah melanjutkan pengajiannya di Universiti al-Azhar asy-Syarif dalam bidang syariah hingga mendapat gelar sarjana muda. Kemudian beliau meneruskan lagi pengajiannya di Ma'had 'Ali Liddirasat al Islamiah di Zamalik sehingga memperolehi diploma am “Dirasat 'Ulya” pada tahun 1990. Menurut beliau, perpindahan ke Mesir ini adalah kerana beliau dan beberapa orang lagi telah dihalang untuk mengajar pengajian di Masjidilharam kerana ketiadaan tauliah. Dan sekiranya mereka berkeras, maka mereka akan di tangkap oleh pihak berkuasa Saudi. Maka pada ketika itulah guru beliau menyarankan beliau untuk ke Mesir, belajar dan mengajar.

DiAntara guru-gurunya ketika belajar di Mekah adalah adalah:-

Syaikhul ‘Ulama al-‘Allamah asy-Syaikh Hasan bin Muhammad bin Abbas bin Ali bin ‘Abd al-Wahid al-Masyath رحمه الله (wafat pada hari Rabu, 7 Syawal 1399H) – Syaikh Nuruddin mengambil dari beliau secara wijadah dan munawalah kebanyakkan karangan beliau seperti Is’aaf ahl al-Iman, Is’aaf ahl Islam, Inarah ad-Duja fi Maghazi Khair al-Wara’, Tuhfah al-Sunniyah fi Ilm al-Faraid’, Nasaih Diniyyah wa Wasaya Hamah’ dan lain-lain. Syaikh Nuruddin juga sering menghadiri perhimpunan di dalam majlis-majlis yang diadakan di Ja’ranah, ‘Arafah, Tan’im dan Madinah. Syaikh Nuruddin menceritakan bahwa beliau sering bersama gurunya al-‘Allamah Syaikh Ismail Utsman Zain berziarah ke rumah al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath pada petang setiap hari Khamis. Mereka akan bersholat Maghrib bersama ulama tersohor ini dan tidak akan pulang melainkan setelah mendapat doa dan nasihat dari al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath. Dari Syaikh inilah beliau mendapat nasihat dan wasiat untuk sentiasa mengamalkan Sholawat Masyisiah.

Al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله (wafat 20 Dhulhijjah 1414H) – Syaikh yang banyak mendidik dan mencorak Syaikh Nuruddin. Antara kitab yang dibacakan pada ulama besar ini adalah Umdah as-Salik. Beliau juga meriwayatkan kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidhi, Sunan Nasai, Sunan Ibn Majah dan lain-lain

Al-‘Allamah al-Jalil, al-Faqih al-Fahhamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin Said bin Muhammad Ubadi al-Lahji رحمه الله (wafat di hospital an-Nur, Mekah, jam 10.50 hari Sabtu, 1410H) – dari ulama besar berasal dari Yaman ini, beliau belajar kitab Tafsir Ibn Katsir, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, al-Minhaj, Bulughul Maram, Matan Abu Syuja’, al-Idhoh, al-Qawaid al-Asasiyah dan lain-lain. Telah menjadi kebiasaan Syaikh ’Abdullah Said al-Lahji, selepas selesai pengajian akan bergaul dan beramah mesra dengan murid-muridnya. Beliau akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah lucu dan hikayat-hikayat lama yang mana iainya memberi kesan besar ke dalam jiwa murid-murid beliau dan mereka yang mengasihi beliau.

Syaikhul Hadits wa Musnidud Dunya al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani رحمه الله (wafat 28 Dhulqaedah 1410H) – Syaikh Nuruddin mengambil daripada beliau secara riwayat, ijazah dan wijadah dari kebanyakkan karangan, tsabat dan musalsal beliau.

DAN LAIN-LAIN,, SEBENARNYA MASIH BANYAK LAGI,,,,,,,,,,,

Menabur jasa dan menyandang gelaran ‘Azharus Tsani’. Setelah menamatkan pengajian di Universiti al-Azhar beliau menumpukan perhatiannya untuk mencurahkan ilmunya kepada ribuan para pelajar yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand yang menuntut di Universiti al Azhar sehingga beliau mendapat gelaran al Azharus Tsani (Azhar ke Dua) satu julukan yang terhormat dan tulus dari masyarakat Universiti al Azhar sendiri.

Beliau mengadakan kelas pengajian yang diberi nama “Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin” semenjak tahun 1987 sehingga 1998 yang mana buat pertama kalinya diadakan di rumah pelajar Johor dan rumah pelajar Pulau Pinang, di dewan rumah Kedah dan di dewan rumah Kelantan dan juga di Masjid Jami’ al Fath di Madinah Nasr. Di samping mengajar beliau juga menghasilkan kitab-kitab agama berbahasa Arab dalam pelbagai bidang yang banyak tersebar luas di Timur Tengah dan juga di negara Malaysia. Boleh dikatakan setiap para pelajar yang belajar di Al-Azhar Mesir semasa beliau berada di sana pernah menimba ilmu dari tokoh ulama' muda ini. Dan memanglah semenjak dari awal keterlibatannya dalam dunia ta'lim beliau telahpun menazarkan diri beliau untuk terus menjadi khadim (orang yang berkhidmat) untuk penuntut ilmu agama. Semoga Allah Ta’ala mengurniakan kesihatan dan ke'afiaatan kepada beliau serta keluarganya dan memberikan kesempatan yang seluasnya untuk beliau terus mencurahkan ilmu dan terus menghasilkan karya ilmiah.

Menghasilkan Karya Ilmiyah. Beliau telah melibatkan diri dalam dunia penulisan semenjak tahun 1991. Beliau telah menghasilkan karangan dan juga mentahqiq kitab-kitab mu'tabar tidak kurang daripada 50 buah karangan kebanyakkannya dalam bahasa Arab.

Majlis pengajian beliau di Malaysia: Pada tahun 1998 beliau telah diperlawa untuk mengajar di Maahad Tarbiah Islamiah (MTI), Derang Kedah, yang diasaskan oleh al-Marhum Ustaz Niamat bin Yusuf رحمه الله pada tahun 1980. Beliau tidak ubah umpama hujan yang menyuburkan bumi yang lama kehausan siramannya. Beliau menetap di MTI Derang hinggalah tahun 2002. Beliau merupakan tenaga pengajar yang utama lagi disegani yang banyak memperuntukkan masa beliau untuk para pelajar di Maahad 'Ali Littafaqquh Fiddin, Derang.

Di samping itu beliau juga dijemput mengadakan pengajian dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah. majlis-majlis perayaan agama malah suara beliau telah lantang bergema menyampaikan syiar agama di hotel-hotel, di pejabat kerajaan sama ada di negeri Kedah Pulau Pinang, Perak, Kelantan dan Terangganu. Setiap kali pengajian yang diadakan pasti akan bertambah jumlah hadirin yang tidak mahu ketinggalan menimba ilmu dan menerima siraman rohani daripada beliau.

Walaupun beliau sudah kembali ke Indonesia, namun sehingga kini majlis pengajian yang dipimpin beliau masih aktif di Selangor, Wilayah Persekutuan, Kedah, Pahang dan lain-lain. Dan beliau juga mengadakan daurah tahunan di Malaysia. Beliau juga di jemput untuk mengadakan majlis pengajian di Kalimantan dan Singapura.

Membuka pesantrennya sendiri. Selepas 4 tahun menabur bakti di bumi Kedah, akhirnya beliau pulang ke tempat asal kelahirannya untuk menubuhkan pesantren beliau sendiri di Kalimantan dan seterusnya pada tahun 2004 beliau mengasaskan Ma’had az-Zein al-Makki al-‘Ali Litafaqquh Fiddin di Ciampiea, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Nama pesantren ini adalah mengambil sempena nama guru kesayangan beliau al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله. Konsep pesantren beliau adalah “اجتماع القديم الصالح والحديث النافع” yang bermaksud menghimpunkan ilmu-ilmu dulu yang benar (yang berkat) dan ilmu-ilmu baru yang bermanfaat. Disinilah beliau menetap bersama-sama keluarganya sehingga kini. Dan di pesantren inilah beliau mendidik mencurahkan ilmunya dan mendidik bakal-bakal ulama muda untuk meneruskan kesinambungan ilmu yang berteraskan kepada sistem pengajian bersanad.

Diantara Keistimewaan beliau

* Yang pertama dan utama adalah beliau istiqamah dan tekun serta gigih dalam apa jua yang dikerjakannya, terutamanya didalam menuntut ilmu. Sehinggakan walaupun beliau sudah terkenal ‘alim, namun beliau masih mencatit ilmu atau maklumat baru yang beliau pelajari atau dengari dari ulama-ulama lain. Ini telah beberapa kali abuzahrah saksikan sendiri, seperti ketika rauhah Habib Umar sewaktu Multaqa Ulama di Bogor juga di dalam beberpa majlis yang beliau hadiri.
* Beliau mempunyai semangat yang luar biasa tinggi, tegas dengan prinsip dan berdisiplin tinggi, berwibawa, bersemangat ketika menyampaikan ilmu dan tidak pernah kelihatan letih walaupun jauh dan lama masa mengajar.
* Dalam menyampaikan ilmu mengaitkan masalah semasa dengan apa yang disampaikannya sungguh amat luar biasa dan amat memberi kesan sekali kepada para hadirin.
* Sangat menekankan adab-adab ketika belajar kepada murid-murid beliau, yang mana agak sukar didapati sekarang ini guru yang tegas di dalam adab belajar. Bahkan abuzahrah menyaksikan sendiri adab-adab yang beliau tekankan itu dipraktikkan oleh beliau tatkala beliau bertalaqqi atau berada di dalam majlis ilmu yang dipimpin ulama lain.
* Beliau akan duduk iftirasy atau tawarruq ketika mengajar walaupun berjam-jam lamanya dan beliau tidak pernah duduk bersila ketika mengajar. Beliau pernah katakan pada abuzahrah, insyaallah ana tidak anak mengangkat atau meninggikan kaki di hadapan orang lain, melainkan ketika makan kerana mengikut akan sunnah.


Bergambar bersama sebahagian peserta Daurah Tafaqquh Fiddin -1 di Pondok Tuan Guru Haji Salleh, Sik, Kedah pada tahun 2007


Irsyadat al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nurruddin: (Petikan ucapan sulung al-Fadhil Syaikh Muhammad Nuruddin hari pertama pengajian di kelas al-Ma'hadul ‘Ali Lit Tafaqquh Fiddin Derang, Kedah - pada hari Itsnin 9 Ramadhan 1419H bersamaan 28 Disember 1998 M.)

* Jangan tersilau dengan gelar PhD atau MA dan sebagainya. Penubuhan al Ma’hadul 'All Littafaqquh Fiddin ini untuk mendapat redha Allah dan membawa misi dan visi Nasratu Dinillah Taala dan Adda‘watu ilallah Menuntut ilmu untuk menolong agama Allah, bukan untuk sijil, syahadah atau untuk dunia serta pangkat.
* Terlalu murah kalau dengan ilmu hanya untuk mendapat gaji lumayan. Kalau belajar hanya untuk duit akan terhenti dengan duit, dapat duit tinggal ilmu.
* Tanggungjawab kita lah terhadap ilmu di tanahair khususnya dan seluruh dunia umumya.
* Siapkan diri untuk berkorban demi ilmu, agama. Ilmu untuk agama dan akhirat.
* Bekerjalah untuk Islam, jangan biarkan musuh Islam mengukut tanah umat Islam dikeranakan ulama kita tidur sedang kita asyik bertengkar sesama sendiri.
* Jadilah 'abidan lillah (hamba kepada Allah jangan 'abidan li makhluk (hamba kepada makhluk). Menuntut ilmu harus ikhlas baru berkat.
* Berakhlaklah dengan guru yang kita mengaji dengannya. Mohon restu guru, dekati dan dampingi mereka merupakan kunci dan rahsia keberhasilan.
* Hormatilah kitab-kitab, susun dengan baik dan terhormat, jangan letak sesuatu di atas kitab, membawa kitab jangan seperti menenteng ikan sahaja, dakapkan ke dada.
* Akhlak juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas Tafaqquh tapi tak berminat untuk beramal.
* Saya bukan seperti kebanyakan guru silat yang menyimpan langkah-langkah atau jurus-jurus maut yang mematikan dari diketahui murid-murid.

SUMBER: http://al-fanshuri-kenaliulama.blogspot.com/search/label/Ulama%60%20-%20Indonesia


SHEIKH NURUDDIN MARBU AL-BANJARI AL-MAKKI

Posted by Admin


Lahir: Al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nuruddin bin Haji Marbu bin Abdullah Thayyib حفظه الله dilahirkan pada tanggal 1 September 1960M di sebuah desa yang bernama Harus di Amuntai, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Anak ketiga dari tujuh bersaudara. Lahir dari sebuah keluarga yang taat beragama. Bonda beliau bernama Hajjah Rahmah binti Haji Muhammad Sobri (meninggal dunia pada 1984) adalah puteri dari seorang tokoh ulama besar di Kalimantan Selatan.

Pendidikan: Beliau belajar membaca la-Quran dari nenek beliau, ibu saudara beliau (Rokiah dan Zainab) dan kakak beliau (Ruminah). Manakala perdidikan formal beliau dapati di sekolah rendah di kampung Harus. Kemudian pada tahun 1974 beliau belajar di Pondok Pesantren Normal Islam – Rasyidiah Khalidiah - . Pengajian beliau disini tidak lama seluruh keluarga beliau telah berhijrah ke tanah suci Makkah dan menetap disana.

Pada tahun itu juga (1974) beliau meneruskan pengajiannya di Madrasah Shaulathiah al-Hindiyah [sejarah penubuhan madrasah ini boleh didapati disini] sehingga tahun 1982. Selain itu beliau juga mengikuti pengajian yang diadakan umum di Masjidiharam dan juga dirumah para masyaikh.

Pada tahun 1982 beliau telah menamatkan pengajiannya dengan kepujian mumtaz (cemerlang) di Madrasah Shaulathiah. Di samping belajar, beliau juga beliau turut mencurahkan ilmunya kepada para pelajar dari Indonesia. Beliau telah mengajarkan kitab Qatrunnada, Fathul Mu'in, 'Umdatussalik, Bidayatul Hidayah dan lain-lain sebelum naik ke kelas 'Aliyah.

Beliau merupakan murid kesayangan gurunya asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani رحمه الله . Dan guru inilah yang banyak mewarnai dalam kehidupan beliau. Tuan guru beliau ini banyak meluangkan waktunya yang berharga untuk beliau dan sering mengajak beliau untuk menemaninya ke Madinah bagi menghadiri program agama dan juga menziarahi maqam baginda Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Sewaktu menceritakan pada abuzahrah perihal Tuan Guru yang dikasihinya ini … beliau kelihatan sebak dan matanya kemerahan menahan sedih.

Beliau mencurahkan segala usaha dan tenaganya serta dirinya mendekati para masyaikh untuk berkhidmat dan juga membekali diri dengan ilmu daripada guru-gurunya. Pernah beliau berkata kepada abuzahrah, apa yang beliau nikmati kini adalah hasil dari keberkatan doa para masyaikh yang beliau telah berkhidmat kepada mereka. Dan kini beliau dapati pula apa yang pernah beliau berikan kepada para guru beliau dahulu.

Beliau amat gigih dalam belajar, maka tidak hairanlah kalau beliau mendapat tempat di hati para gurunya. Sebut sahaja ulama' yang ada di Mekah khususnya pasti beliau pernah berguru dengan mereka. Siapa yang tidak mengenali tokoh ulama' yang harum nama mereka disebut orang semisal Syaikh al-Allamah Hasan al-Masyath yang digelar Syaikh-ul-Ulama', Syaikh al-Allamah Muhammad Yasin al-Fadani, yang mendapat julukan Syaikhul Hadits wa Musnidud-dunya, Syaikh Ismail Usman Zin al-Yamani yang digelar al-Faqih ad-Darrakah (guru beliau ini menghafal kitab Minhajut Tholibin), Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili al-Anfanani, as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, Syaikh Said al-Bakistani dan masih banyak lagi. Kata pepatah arab “cakap sahaja tanpa perlu khuatir”.

Kitab-kitab yang dipelajari beliau bersambung sanadnya hingga kepada pengarang, masyaAllah betapa hebat dan beruntungnya umur beliau dan segala-galanya yang diberikan oleh Allah, tidak salah kalau dikatakan ilmu beliau lebih tua dari umurnya.

Pada tahun 1983 beliau telah melanjutkan pengajiannya di Universiti al-Azhar asy-Syarif dalam bidang syariah hingga mendapat gelar sarjana muda. Kemudian beliau meneruskan lagi pengajiannya di Ma'had 'Ali Liddirasat al Islamiah di Zamalik sehingga memperolehi diploma am “Dirasat 'Ulya” pada tahun 1990. Menurut beliau, perpindahan ke Mesir ini adalah kerana beliau dan beberapa orang lagi telah dihalang untuk mengajar pengajian di Masjidilharam kerana ketiadaan tauliah. Dan sekiranya mereka berkeras, maka mereka akan di tangkap oleh pihak berkuasa Saudi. Maka pada ketika itulah guru beliau menyarankan beliau untuk ke Mesir, belajar dan mengajar.

DiAntara guru-gurunya ketika belajar di Mekah adalah adalah:-

Syaikhul ‘Ulama al-‘Allamah asy-Syaikh Hasan bin Muhammad bin Abbas bin Ali bin ‘Abd al-Wahid al-Masyath رحمه الله (wafat pada hari Rabu, 7 Syawal 1399H) – Syaikh Nuruddin mengambil dari beliau secara wijadah dan munawalah kebanyakkan karangan beliau seperti Is’aaf ahl al-Iman, Is’aaf ahl Islam, Inarah ad-Duja fi Maghazi Khair al-Wara’, Tuhfah al-Sunniyah fi Ilm al-Faraid’, Nasaih Diniyyah wa Wasaya Hamah’ dan lain-lain. Syaikh Nuruddin juga sering menghadiri perhimpunan di dalam majlis-majlis yang diadakan di Ja’ranah, ‘Arafah, Tan’im dan Madinah. Syaikh Nuruddin menceritakan bahwa beliau sering bersama gurunya al-‘Allamah Syaikh Ismail Utsman Zain berziarah ke rumah al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath pada petang setiap hari Khamis. Mereka akan bersholat Maghrib bersama ulama tersohor ini dan tidak akan pulang melainkan setelah mendapat doa dan nasihat dari al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath. Dari Syaikh inilah beliau mendapat nasihat dan wasiat untuk sentiasa mengamalkan Sholawat Masyisiah.

Al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله (wafat 20 Dhulhijjah 1414H) – Syaikh yang banyak mendidik dan mencorak Syaikh Nuruddin. Antara kitab yang dibacakan pada ulama besar ini adalah Umdah as-Salik. Beliau juga meriwayatkan kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidhi, Sunan Nasai, Sunan Ibn Majah dan lain-lain

Al-‘Allamah al-Jalil, al-Faqih al-Fahhamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin Said bin Muhammad Ubadi al-Lahji رحمه الله (wafat di hospital an-Nur, Mekah, jam 10.50 hari Sabtu, 1410H) – dari ulama besar berasal dari Yaman ini, beliau belajar kitab Tafsir Ibn Katsir, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, al-Minhaj, Bulughul Maram, Matan Abu Syuja’, al-Idhoh, al-Qawaid al-Asasiyah dan lain-lain. Telah menjadi kebiasaan Syaikh ’Abdullah Said al-Lahji, selepas selesai pengajian akan bergaul dan beramah mesra dengan murid-muridnya. Beliau akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah lucu dan hikayat-hikayat lama yang mana iainya memberi kesan besar ke dalam jiwa murid-murid beliau dan mereka yang mengasihi beliau.

Syaikhul Hadits wa Musnidud Dunya al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani رحمه الله (wafat 28 Dhulqaedah 1410H) – Syaikh Nuruddin mengambil daripada beliau secara riwayat, ijazah dan wijadah dari kebanyakkan karangan, tsabat dan musalsal beliau.

DAN LAIN-LAIN,, SEBENARNYA MASIH BANYAK LAGI,,,,,,,,,,,

Menabur jasa dan menyandang gelaran ‘Azharus Tsani’. Setelah menamatkan pengajian di Universiti al-Azhar beliau menumpukan perhatiannya untuk mencurahkan ilmunya kepada ribuan para pelajar yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand yang menuntut di Universiti al Azhar sehingga beliau mendapat gelaran al Azharus Tsani (Azhar ke Dua) satu julukan yang terhormat dan tulus dari masyarakat Universiti al Azhar sendiri.

Beliau mengadakan kelas pengajian yang diberi nama “Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin” semenjak tahun 1987 sehingga 1998 yang mana buat pertama kalinya diadakan di rumah pelajar Johor dan rumah pelajar Pulau Pinang, di dewan rumah Kedah dan di dewan rumah Kelantan dan juga di Masjid Jami’ al Fath di Madinah Nasr. Di samping mengajar beliau juga menghasilkan kitab-kitab agama berbahasa Arab dalam pelbagai bidang yang banyak tersebar luas di Timur Tengah dan juga di negara Malaysia. Boleh dikatakan setiap para pelajar yang belajar di Al-Azhar Mesir semasa beliau berada di sana pernah menimba ilmu dari tokoh ulama' muda ini. Dan memanglah semenjak dari awal keterlibatannya dalam dunia ta'lim beliau telahpun menazarkan diri beliau untuk terus menjadi khadim (orang yang berkhidmat) untuk penuntut ilmu agama. Semoga Allah Ta’ala mengurniakan kesihatan dan ke'afiaatan kepada beliau serta keluarganya dan memberikan kesempatan yang seluasnya untuk beliau terus mencurahkan ilmu dan terus menghasilkan karya ilmiah.

Menghasilkan Karya Ilmiyah. Beliau telah melibatkan diri dalam dunia penulisan semenjak tahun 1991. Beliau telah menghasilkan karangan dan juga mentahqiq kitab-kitab mu'tabar tidak kurang daripada 50 buah karangan kebanyakkannya dalam bahasa Arab.

Majlis pengajian beliau di Malaysia: Pada tahun 1998 beliau telah diperlawa untuk mengajar di Maahad Tarbiah Islamiah (MTI), Derang Kedah, yang diasaskan oleh al-Marhum Ustaz Niamat bin Yusuf رحمه الله pada tahun 1980. Beliau tidak ubah umpama hujan yang menyuburkan bumi yang lama kehausan siramannya. Beliau menetap di MTI Derang hinggalah tahun 2002. Beliau merupakan tenaga pengajar yang utama lagi disegani yang banyak memperuntukkan masa beliau untuk para pelajar di Maahad 'Ali Littafaqquh Fiddin, Derang.

Di samping itu beliau juga dijemput mengadakan pengajian dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah. majlis-majlis perayaan agama malah suara beliau telah lantang bergema menyampaikan syiar agama di hotel-hotel, di pejabat kerajaan sama ada di negeri Kedah Pulau Pinang, Perak, Kelantan dan Terangganu. Setiap kali pengajian yang diadakan pasti akan bertambah jumlah hadirin yang tidak mahu ketinggalan menimba ilmu dan menerima siraman rohani daripada beliau.

Walaupun beliau sudah kembali ke Indonesia, namun sehingga kini majlis pengajian yang dipimpin beliau masih aktif di Selangor, Wilayah Persekutuan, Kedah, Pahang dan lain-lain. Dan beliau juga mengadakan daurah tahunan di Malaysia. Beliau juga di jemput untuk mengadakan majlis pengajian di Kalimantan dan Singapura.

Membuka pesantrennya sendiri. Selepas 4 tahun menabur bakti di bumi Kedah, akhirnya beliau pulang ke tempat asal kelahirannya untuk menubuhkan pesantren beliau sendiri di Kalimantan dan seterusnya pada tahun 2004 beliau mengasaskan Ma’had az-Zein al-Makki al-‘Ali Litafaqquh Fiddin di Ciampiea, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Nama pesantren ini adalah mengambil sempena nama guru kesayangan beliau al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله. Konsep pesantren beliau adalah “اجتماع القديم الصالح والحديث النافع” yang bermaksud menghimpunkan ilmu-ilmu dulu yang benar (yang berkat) dan ilmu-ilmu baru yang bermanfaat. Disinilah beliau menetap bersama-sama keluarganya sehingga kini. Dan di pesantren inilah beliau mendidik mencurahkan ilmunya dan mendidik bakal-bakal ulama muda untuk meneruskan kesinambungan ilmu yang berteraskan kepada sistem pengajian bersanad.

Diantara Keistimewaan beliau

* Yang pertama dan utama adalah beliau istiqamah dan tekun serta gigih dalam apa jua yang dikerjakannya, terutamanya didalam menuntut ilmu. Sehinggakan walaupun beliau sudah terkenal ‘alim, namun beliau masih mencatit ilmu atau maklumat baru yang beliau pelajari atau dengari dari ulama-ulama lain. Ini telah beberapa kali abuzahrah saksikan sendiri, seperti ketika rauhah Habib Umar sewaktu Multaqa Ulama di Bogor juga di dalam beberpa majlis yang beliau hadiri.
* Beliau mempunyai semangat yang luar biasa tinggi, tegas dengan prinsip dan berdisiplin tinggi, berwibawa, bersemangat ketika menyampaikan ilmu dan tidak pernah kelihatan letih walaupun jauh dan lama masa mengajar.
* Dalam menyampaikan ilmu mengaitkan masalah semasa dengan apa yang disampaikannya sungguh amat luar biasa dan amat memberi kesan sekali kepada para hadirin.
* Sangat menekankan adab-adab ketika belajar kepada murid-murid beliau, yang mana agak sukar didapati sekarang ini guru yang tegas di dalam adab belajar. Bahkan abuzahrah menyaksikan sendiri adab-adab yang beliau tekankan itu dipraktikkan oleh beliau tatkala beliau bertalaqqi atau berada di dalam majlis ilmu yang dipimpin ulama lain.
* Beliau akan duduk iftirasy atau tawarruq ketika mengajar walaupun berjam-jam lamanya dan beliau tidak pernah duduk bersila ketika mengajar. Beliau pernah katakan pada abuzahrah, insyaallah ana tidak anak mengangkat atau meninggikan kaki di hadapan orang lain, melainkan ketika makan kerana mengikut akan sunnah.


Bergambar bersama sebahagian peserta Daurah Tafaqquh Fiddin -1 di Pondok Tuan Guru Haji Salleh, Sik, Kedah pada tahun 2007


Irsyadat al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nurruddin: (Petikan ucapan sulung al-Fadhil Syaikh Muhammad Nuruddin hari pertama pengajian di kelas al-Ma'hadul ‘Ali Lit Tafaqquh Fiddin Derang, Kedah - pada hari Itsnin 9 Ramadhan 1419H bersamaan 28 Disember 1998 M.)

* Jangan tersilau dengan gelar PhD atau MA dan sebagainya. Penubuhan al Ma’hadul 'All Littafaqquh Fiddin ini untuk mendapat redha Allah dan membawa misi dan visi Nasratu Dinillah Taala dan Adda‘watu ilallah Menuntut ilmu untuk menolong agama Allah, bukan untuk sijil, syahadah atau untuk dunia serta pangkat.
* Terlalu murah kalau dengan ilmu hanya untuk mendapat gaji lumayan. Kalau belajar hanya untuk duit akan terhenti dengan duit, dapat duit tinggal ilmu.
* Tanggungjawab kita lah terhadap ilmu di tanahair khususnya dan seluruh dunia umumya.
* Siapkan diri untuk berkorban demi ilmu, agama. Ilmu untuk agama dan akhirat.
* Bekerjalah untuk Islam, jangan biarkan musuh Islam mengukut tanah umat Islam dikeranakan ulama kita tidur sedang kita asyik bertengkar sesama sendiri.
* Jadilah 'abidan lillah (hamba kepada Allah jangan 'abidan li makhluk (hamba kepada makhluk). Menuntut ilmu harus ikhlas baru berkat.
* Berakhlaklah dengan guru yang kita mengaji dengannya. Mohon restu guru, dekati dan dampingi mereka merupakan kunci dan rahsia keberhasilan.
* Hormatilah kitab-kitab, susun dengan baik dan terhormat, jangan letak sesuatu di atas kitab, membawa kitab jangan seperti menenteng ikan sahaja, dakapkan ke dada.
* Akhlak juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas Tafaqquh tapi tak berminat untuk beramal.
* Saya bukan seperti kebanyakan guru silat yang menyimpan langkah-langkah atau jurus-jurus maut yang mematikan dari diketahui murid-murid.

SUMBER: http://al-fanshuri-kenaliulama.blogspot.com/search/label/Ulama%60%20-%20Indonesia




Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, Tegal, adalah salah satu ulama dan tokoh besar yang dimiliki Indonesia, khususnya kota Tegal, Jawa Tengah. Setiap tokoh atau ulama yang berkunjung ke Indonesia biasanya selalu menyempatkan diri mengunjunginya. Demikian juga Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Daarul Musthafa, Tarim Hadhramaut.

Namun demikian, beliau ibarat cemaran yang pucuknya tampak dari jauh tapi yang berada dibawahnya tidak melihatnya, artinya Nama Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff memang dikenal oleh banyak kalangan sampai mancanegara, tapi orang-orang di daerah sekitarnya sering tidak mengenal kealiman dan ketokohannya.

Habib Abdullah Al-kaff memang terkenal karena sikap tawadhu’nya. Ia tidak ingin menonjol, dan takut menjadi orang terkenal, sehingga dalam bersikap sangatlah hati-hati, dalam hidupnya hampir tidak punya musuh.

Masa kecilnya
Habib Abdullah Al-Kaff lahir di Cirebon (Jawa Barat) pada tanggal 27 Ramadhan 1340 H, bertepatan dengan 17 Mei 1922. Ayah beliau bernama Ahmad bin Abdullah Al-Kaff dimana ia mempunyai beberapa isteri. Dari Isteri pertamanya ia mendapatkan seorang anak bernama Abdurrahman. Dari Isteri kedua, ia mendapatkan tiga anak laki-laki yaitu Husein, Muhammad, dan Abdullah (Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, yang jadi pembahasan kali ini). Dari isteri ketiga, anaknya banyak juga, tapi yang laki-laki hanya satu, yaitu Umar. Sedangkan dari isteri keempat, ia mempunyai enam anak laki-laki.

Semua saudara Habib Abdullah Al-Kaff disekolahkan di Arab Saudi dan Yaman. Habib Abdullah Al-Kaff sendiri pada usia 11 dibawa oleh ayahnya ke Hadhramaut, tepatnya di Tarim. Selama enam tahun ia dititipkan pada kakeknya di kota Hajrain. Sebuah kota di kaki gunung yang banyak dihuni para wali mastur.

Pada umur 17 Tahun, beliau belajar di Rubath Tarim kepada Habib Umar Asy-Syathiri, yang sudah sepuh. Setelah Habib Umar Asy-Syathiri meninggal, ia melanjutkan belajarnya kepada Habib Abdullah As-Syathiri , anak Habib Umar Asy-Syathiri. Sepeninggal Habib Abdullah Asy-Syathiri, Rubath Tarim kini diasuh oleh Habib Salim Asy-Syathiri.

Habib Abdullah Al-Kaff sekelas dengan Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar. Gurunya waktu termasuk juga Habib Ali bin Abdullah bin Syihab.

Beliau mengambil kekhususan pada bidang fiqih. Tapi ia juga sangat menggandrungi sastra sehingga banyak tulisannya berbentuk syair.

Dewasa di Tegal
Pada usia 25 Tahun, Habib Abdullah kembali ke kota TEGAL, JAWA TENGAH. Kemudian ia menikah dan sehari-hari sebagai pedagang sarung tenun. Selain berdagang, ia juga menyisakan waktunya untuk mendidik anak-anaknya dan juga mengisi majelis taklim.

Habib Abdullah Al-Kaff bermukim di Kota Tegal. Sering ketika ada tamu yang berkunjugn ke Tegal, walau tamu itu bukan tamunya namun Habib Abdullah Al-Kaff merasa berkewajiban untuk menjamunya. Penghormatannya kepada tamu sungguh luar biasa. Kalau tamu itu tidak sempat dijamu hari itu, besoknya dipanggil untuk sarapan. Yang lebih mengherankan, kalau ada tamu, selalu saja ada kambing sebagai masakannya. Beliau pernah bilang, “Setiap manusia ada rizkinya, dan itu tidak akan pernah tertukar. Tidak mungkin kita memakan rizki orang karena sudah diatur oleh Allah SWT.”.

Beberapa tahun ia pernah tinggal di Condet, Jakarta. Karena keulamaannya, Habib Umar bin Hafidz, pengasuh Daarul Musthafa Tarim, menyempatkan diri untuk mengunjunginya di Condet, Jakarta guna meminta doa restu darinya.

Mendidik anak-anak
Habib Abdullah Al-Kaff termasuk tokoh habib yang sangat sukses dalam mendidik anak-ananya. Hampir semua putranya adalah ulama, pendidik, pendakwah yang istiqomah. Siapakah yang tidak kenal Habib Thohir Al-Kaff, Habib Ahmad Al-Kaff (Pengasuh PP Hikmatun Nur Jakarta), Habib Hamid, Habib Ali, dan Habib Muhammad Al-Kaff??.

Habib Abdullah Al-Kaff berharap semua anaknya bisa menjadi ulama. Salah seorang anaknya, Habib Muhammad dikirim ke Arab Saudi, Habib Muthahar dimasukkan di Pesantren Darul Hadits Malang, Habib Murtadha dikirim ke Arab Saudi, lalu ke Yaman, Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dan Habib Hamid Al-Kaff dikirim ke Makkah untuk berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki dan belajar disana selama tujuh tahun, sedangkan Habib Ahmad Al-Kaff belajar di Mesir sehingga meraih gelar Doktor disana, demikian juga si bungsu Habib Ali yang juga dikirim ke Mesir.

Walau demikian Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff tetap berikhtiar dalam membina anak-anaknya supaya menjadi alim, anak yang berilmu, dengan harapan kelak akan menjadi ulama. Apa yang dilakukannya adalah meneladani Rasulullah SAW yaitu mendidik anak-anaknya dengan tarbiyah dan uswatun hasanah (teladan baik) atas apa yang diajarkannya.

Setiap hari, Beliau mengumandangkan adzan di rumahnya, Jalan Duku Kota Tegal, Jawa Tengah. Mendengar adzan itu, anak-anaknya ikut bangun dan langsung mengambil wudhu. Satu keluarga itu kemudian shala Shubuh berjamaah. Usai shalat berjamaah, ia memberikan nasihat agama kepada anak-anak, hingga hari mulai terang.

Kebiasaan Habib Abdullah Al-Kaff yang tidak pernah hilang adalah mencium tangan orang yang bersalaman dengannya, walau itu anak kecil sekalipun. Nah, orang yang tahu maqam Habib Abdullah jadi saling mencium.

Soal Kesabaran, Beliau sangat luar biasa. Ketika mendapat ujian sakit yang cukup lama, sembilan tahun, tidak pernah sekalipun ia mengeluh.

Berpulang ke Rahmatullah..
Kota Tegal saat itu berkabung kehilangan salah satu tokoh ulama besar yang dimilikinya. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad 7 September 2008 bertepatan pada 7 Ramadhan 1429 H, pukul 04.00 di Condet, Jakarta Timur setelah dirawat dua hari di Rumah Sakit Haji Pondok Gede Jenazah sang ulama, Al-Maghfurlah Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, dimakamkan di pemakaman Al-Haddad, kota TEGAL, pada sore harinya.

Harapan dan Cita-Cita
Ada satu harapan Habib Abdullah yaitu mendirikan sebuah pesantren di Tegal. Ia berharap anak-anaknya dapat mewujudkan cita-cita itu. Kini rumah di Jalan Duku kota TEGAL yang ditinggalkannya menjadi kantor dan embrio berdirinya pesantren tersebut. “Insya Allah saya dan saudara-saudara yang lain akan mewujudkan harapan Abah,” kata Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff yang meski bertempat tinggal di Pekalongan, namun lebih banyak berkiprah dakwah di Kota Tegal.

SEMOGA ALLAH SWT MENEMPATKAN ALMARHUM PADA TEMPAT YANG TERBAIK DI SISI-NYA. AMIIN.

Disarikan dari berbagai sumber, diantaranya Majalah Alkisah No.21/Tahun VI/2008 dan No. 10/Tahun VII/2009 dengan berbagai perubahan.

Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff

Posted by Admin



Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, Tegal, adalah salah satu ulama dan tokoh besar yang dimiliki Indonesia, khususnya kota Tegal, Jawa Tengah. Setiap tokoh atau ulama yang berkunjung ke Indonesia biasanya selalu menyempatkan diri mengunjunginya. Demikian juga Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Daarul Musthafa, Tarim Hadhramaut.

Namun demikian, beliau ibarat cemaran yang pucuknya tampak dari jauh tapi yang berada dibawahnya tidak melihatnya, artinya Nama Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff memang dikenal oleh banyak kalangan sampai mancanegara, tapi orang-orang di daerah sekitarnya sering tidak mengenal kealiman dan ketokohannya.

Habib Abdullah Al-kaff memang terkenal karena sikap tawadhu’nya. Ia tidak ingin menonjol, dan takut menjadi orang terkenal, sehingga dalam bersikap sangatlah hati-hati, dalam hidupnya hampir tidak punya musuh.

Masa kecilnya
Habib Abdullah Al-Kaff lahir di Cirebon (Jawa Barat) pada tanggal 27 Ramadhan 1340 H, bertepatan dengan 17 Mei 1922. Ayah beliau bernama Ahmad bin Abdullah Al-Kaff dimana ia mempunyai beberapa isteri. Dari Isteri pertamanya ia mendapatkan seorang anak bernama Abdurrahman. Dari Isteri kedua, ia mendapatkan tiga anak laki-laki yaitu Husein, Muhammad, dan Abdullah (Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, yang jadi pembahasan kali ini). Dari isteri ketiga, anaknya banyak juga, tapi yang laki-laki hanya satu, yaitu Umar. Sedangkan dari isteri keempat, ia mempunyai enam anak laki-laki.

Semua saudara Habib Abdullah Al-Kaff disekolahkan di Arab Saudi dan Yaman. Habib Abdullah Al-Kaff sendiri pada usia 11 dibawa oleh ayahnya ke Hadhramaut, tepatnya di Tarim. Selama enam tahun ia dititipkan pada kakeknya di kota Hajrain. Sebuah kota di kaki gunung yang banyak dihuni para wali mastur.

Pada umur 17 Tahun, beliau belajar di Rubath Tarim kepada Habib Umar Asy-Syathiri, yang sudah sepuh. Setelah Habib Umar Asy-Syathiri meninggal, ia melanjutkan belajarnya kepada Habib Abdullah As-Syathiri , anak Habib Umar Asy-Syathiri. Sepeninggal Habib Abdullah Asy-Syathiri, Rubath Tarim kini diasuh oleh Habib Salim Asy-Syathiri.

Habib Abdullah Al-Kaff sekelas dengan Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar. Gurunya waktu termasuk juga Habib Ali bin Abdullah bin Syihab.

Beliau mengambil kekhususan pada bidang fiqih. Tapi ia juga sangat menggandrungi sastra sehingga banyak tulisannya berbentuk syair.

Dewasa di Tegal
Pada usia 25 Tahun, Habib Abdullah kembali ke kota TEGAL, JAWA TENGAH. Kemudian ia menikah dan sehari-hari sebagai pedagang sarung tenun. Selain berdagang, ia juga menyisakan waktunya untuk mendidik anak-anaknya dan juga mengisi majelis taklim.

Habib Abdullah Al-Kaff bermukim di Kota Tegal. Sering ketika ada tamu yang berkunjugn ke Tegal, walau tamu itu bukan tamunya namun Habib Abdullah Al-Kaff merasa berkewajiban untuk menjamunya. Penghormatannya kepada tamu sungguh luar biasa. Kalau tamu itu tidak sempat dijamu hari itu, besoknya dipanggil untuk sarapan. Yang lebih mengherankan, kalau ada tamu, selalu saja ada kambing sebagai masakannya. Beliau pernah bilang, “Setiap manusia ada rizkinya, dan itu tidak akan pernah tertukar. Tidak mungkin kita memakan rizki orang karena sudah diatur oleh Allah SWT.”.

Beberapa tahun ia pernah tinggal di Condet, Jakarta. Karena keulamaannya, Habib Umar bin Hafidz, pengasuh Daarul Musthafa Tarim, menyempatkan diri untuk mengunjunginya di Condet, Jakarta guna meminta doa restu darinya.

Mendidik anak-anak
Habib Abdullah Al-Kaff termasuk tokoh habib yang sangat sukses dalam mendidik anak-ananya. Hampir semua putranya adalah ulama, pendidik, pendakwah yang istiqomah. Siapakah yang tidak kenal Habib Thohir Al-Kaff, Habib Ahmad Al-Kaff (Pengasuh PP Hikmatun Nur Jakarta), Habib Hamid, Habib Ali, dan Habib Muhammad Al-Kaff??.

Habib Abdullah Al-Kaff berharap semua anaknya bisa menjadi ulama. Salah seorang anaknya, Habib Muhammad dikirim ke Arab Saudi, Habib Muthahar dimasukkan di Pesantren Darul Hadits Malang, Habib Murtadha dikirim ke Arab Saudi, lalu ke Yaman, Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dan Habib Hamid Al-Kaff dikirim ke Makkah untuk berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki dan belajar disana selama tujuh tahun, sedangkan Habib Ahmad Al-Kaff belajar di Mesir sehingga meraih gelar Doktor disana, demikian juga si bungsu Habib Ali yang juga dikirim ke Mesir.

Walau demikian Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff tetap berikhtiar dalam membina anak-anaknya supaya menjadi alim, anak yang berilmu, dengan harapan kelak akan menjadi ulama. Apa yang dilakukannya adalah meneladani Rasulullah SAW yaitu mendidik anak-anaknya dengan tarbiyah dan uswatun hasanah (teladan baik) atas apa yang diajarkannya.

Setiap hari, Beliau mengumandangkan adzan di rumahnya, Jalan Duku Kota Tegal, Jawa Tengah. Mendengar adzan itu, anak-anaknya ikut bangun dan langsung mengambil wudhu. Satu keluarga itu kemudian shala Shubuh berjamaah. Usai shalat berjamaah, ia memberikan nasihat agama kepada anak-anak, hingga hari mulai terang.

Kebiasaan Habib Abdullah Al-Kaff yang tidak pernah hilang adalah mencium tangan orang yang bersalaman dengannya, walau itu anak kecil sekalipun. Nah, orang yang tahu maqam Habib Abdullah jadi saling mencium.

Soal Kesabaran, Beliau sangat luar biasa. Ketika mendapat ujian sakit yang cukup lama, sembilan tahun, tidak pernah sekalipun ia mengeluh.

Berpulang ke Rahmatullah..
Kota Tegal saat itu berkabung kehilangan salah satu tokoh ulama besar yang dimilikinya. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad 7 September 2008 bertepatan pada 7 Ramadhan 1429 H, pukul 04.00 di Condet, Jakarta Timur setelah dirawat dua hari di Rumah Sakit Haji Pondok Gede Jenazah sang ulama, Al-Maghfurlah Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, dimakamkan di pemakaman Al-Haddad, kota TEGAL, pada sore harinya.

Harapan dan Cita-Cita
Ada satu harapan Habib Abdullah yaitu mendirikan sebuah pesantren di Tegal. Ia berharap anak-anaknya dapat mewujudkan cita-cita itu. Kini rumah di Jalan Duku kota TEGAL yang ditinggalkannya menjadi kantor dan embrio berdirinya pesantren tersebut. “Insya Allah saya dan saudara-saudara yang lain akan mewujudkan harapan Abah,” kata Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff yang meski bertempat tinggal di Pekalongan, namun lebih banyak berkiprah dakwah di Kota Tegal.

SEMOGA ALLAH SWT MENEMPATKAN ALMARHUM PADA TEMPAT YANG TERBAIK DI SISI-NYA. AMIIN.

Disarikan dari berbagai sumber, diantaranya Majalah Alkisah No.21/Tahun VI/2008 dan No. 10/Tahun VII/2009 dengan berbagai perubahan.

Di kalangan kaum muslimin masih terdapat sebagian orang yang terlalu mudah melontarkan tuduhan kafir, musyrik, fasik dan sebagainya terhadap orang muslim lain hanya karena berbeda perndapat mengenai masalah-masalah tertentu. Sikap demikian disebabkan oleh kurangnya pengertian tentang hukum Syariat Islam. Atau mungkin orang yang dituduh itu dianggap tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dituntut oleh agama. Atau bisa juga tuduhan itu muncul dari sikap fanatic akibat taqlid buta dalam menghayati agama.

Jika sikap gegabah itu disebabkan karena kurangnya pengertian tentang hukum syari’at islam, cara mengatasinya tidak begitu sulit, yaitu dengan cara memberikan pengertian mengenai prinsip-prinsip ajaran agama islam dan hukum-hukum syari’at islam. Kalau disebabkan perasaan tidak puas melihat orang lain tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, motivasi ini baik, tetapi tidak diarahkan menurut jalur yang semestinya. Ia lupa bahwa untuk mendorong orang lain melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diperlukan cara-cara bijaksana dan tidak jemu-jemu memberikan peringatan dengan cara yang sebaik-baiknya. Jika ia merasa perlu berdiskusi maka diskusipun dengan cara yang baik. Sebagaimana tuntunan Alloh :


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah** dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS An Nahl : 125)

**Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Cara yang ditunjukkan oleh Al Qur’an itu lebih mudah dan lebih menjamin tercapainya kebijakan yang kita inginkan. Menempuh cara yang sebaliknya merupakan kekeliruan besar dan akan mendatangkan akibat fatal. Lain hal-nya kalau tuduhan kafir dilontarkan atas dasar fikiran ekstrim dan fanatisme taqlid buta. Persoalan tidak hanya sulit diatasi, bahkan amat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Lagi pula tidak sesuai dengan tuntunan Alloh dan teladan Rosul-Nya. Hal ini memerlukan pembahasan khusus, rumit dan mungkin berliku-liku, karena berkenaan dengan masalah kejiwaan, cara berfikir dan lain-lain.

Seorang yang menunaikan sholat dan kuajiban-kuajiban lainnya akan berusaha mengajak orang lain kejalan hidup lurus dan melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh. Orang yang demikian, tidak boleh diragukan keislamannya. Kalau dalam hal tertentu ia berbeda pandangan dengan kita karena tidak semadzhab dan kemudian kita tuduh kafir, sesungguhnya kita telah melakukan kesalahan besar, karena kita telah melakukan sesuatu yang dilarang Alloh.

Semua imam madzhab dan semua ulama diseluruh dunia islam telah bersepakat untuk melarang mengkafirkan kecuali jika ia mengingkari Alloh atau jelas-jelas mensekutukan-Nya dengan sesembahan lain atau mengingkari kenabian serta kerasulan Muhammad SAW, atau dengan sadar mengingkari sesuatu yang telah diwajibkan oleh agama Alloh atau mengingkari kitabulloh Al Qur’an dan sunnah Rosululloh yang diriwayatkan oleh hadits-hadits shohih yang kebenarannya telah diterima bulat oleh semua ulama islam.

Mengenai soal-soal yang diwajibkan oleh agama islam sebagai aqidah telah sama-sama diketahui. Yang terpokok adalah meyakini keesaan (Wahdaniyah) Alloh SWT, meyakini kenabian para rosul sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup dan terakhir, meyakini kepastian datangnya hari kiamat saat seluruh manusia dibangkitkan kembali, meyakini adanya hisap, meyakini adanya surga dan neraka. Mengingkari soal-soal pokok tersebut baru bisa diartikan kufur. Alasan apapun tidak bisa diterima dari seorang muslim untuk mengatakan “saya tidak tahu” untuk masalah pokok tersebut, kecuali baru saja masuk islam. Akan tapi setelah diberitahu, diberi pengertian, tidak ada alas an lagi baginya untuk menolak keyakinan tentang masalah terebut.

Menetapkan “kekufuran” seseorang berdasarkan alasan-alasan selain tersebut diatas adalah tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya. Dalam sebuah hadits berasal dari Abu Hurairoh ra. dan diriwayatkan oleh Al Bukhari, rosululloh bersabda (artinya), jika ada orang yang berkata kepada saudaranya; “hai kafir!” maka salah satu diantara dua orang itu adalah kafir.”

Yang dimaksud hadits tersebut adalah orang yang disebut kafir itu memang benar-benar kafir, atau jika yang disebut kafir itu orang muslim maka yang menyebut itu sendirilah yang telah berbuat kufur.

Menilai kekufuran seseorang tidak boleh dilakukan oleh siapapun kecuali atas dasar dalil-dalil hukum syara’ yang sah. Menetapkan kekufuran seseorang berdasarkan dugaan yang tidak terbukti kebenarannya menurut syara’, atau hanya berdasarkan dugaan, sangkaan atau perkiraan belaka, sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Mengobral tuduhan semacam itu pasti akan mengacaukan keadaan dan merusak persatuan umat islam, bahkan orang lain enggan mendekati kebenaran Islam.

Seorang muslim yang berbuat maksiatpun tidak boleh dituduh sebagai kafir selagi ia masih tetap beriman dan mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sebuah hadits dari Anas bin Malik ra. Rosululloh saw bersabda (artinya) “Tiga perkara termasuk pokok keimanan; 1. Tidak memusuhi orang yang telah mengucapkan “Tiada Tuhan selain Alloh” (la ilaaha illalloh) dan tidak mengkafirkannya karena berbuat dosa dan tidak mengeluarkannya dari Isalm karena suatu perbuatan. 2. Perjuangan berlaku terus sejak Alloh mengutusku hingga saat umatku yang terakhir memerangi dajjal. Perjuangan itu tidak boleh ditiadakan oleh orang yang dzolim ataupun oleh orang adil. 3. Meyakini takdir Ilahi (HR Abu Dawud).

Imam Al Haramain (Abdul Ma’ali Al-Juwaini) mengatakan; Seandainya ada yang minta kepada saya supaya merumuskan hukum syara’ yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan kekufuran seseorang, pasti saya jawab; Itu merupakan fikiran yang tidak pada tempatnya. Sebab persoalan itu terlalu jauh jangkauannya, persoalan gawat yang pemecahannya harus bersumber pada prinsip tauhid dan orang yang ilmunya tidak mencapai puncak hakekat kebenaran, ia tidak akan memperoleh dalil-dalil pemikiran yang kokoh.

Imam ‘Ali bin Abi Tholib ra. ketika ditanya sahabatnya tentang kedudukan kaum khowarij; Apakah mereka itu orang-orang kafir?, beliau menjawab; Bukan, mereka justru orang-orang yang menjauhkan diri dari kekufuran. Apakah mereka itu orang munafik? Beliau menjawab; Bukan, orang-orang munafik hanya sedikit berdzikir (menyebut nama Alloh), mereka justru orang-orang yang banyak berdzikir. Lantas apa mereka itu? Beliau menjawab; Mereka adalah orang yang dilanda fitnah sehingga menjadi buta dan tuli.

Al Buhkari mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh oleh Abu Dzibyan, bahwa Usamah bin Zaid berkata (artinya) “Pada suatu peperangan, Rosululloh SAW memerintahkan kami menyergap tempat persembunyian musuh. Setelah mereka kalahkan, ada satu orang yang coba melarikan diri. Aku bersama seorang Anshor mengejarnya, tetapi setelah kami tangkap, ia mengucapkan La ilaaha illalloh. Karena temanku tidak mau membunuhnya, kuhujamkan tombakku kepada orang dari pasukan musuh itu hingga mati. Ketika aku menghadap Rosululloh SAW, ternyata beliau telah mendengar berita kejadian itu. Beliau bertanya; “Hai Usamah, benarkah engkau telah membunuhnya setelah dia mengucapkan La ilaha illalloh? Aku menjawab; Ya Rosululloh, ia hanya bermaksud menyelamatkan diri. Rosululloh bertanya lagi; Apakah engkau membelah hatinya, hingga engkau tau dia itu benar atau bohong? Selanjutnya Usamah berkata, sejak saat itu aku tidak membunuh lagi orang yang telah mengucapkan La ilaha illalloh.”

(HMH Al Hamid Al Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, 1997)
Tulisan ini saya kutip dari sebuah situs blog ini ajisetiawan1.blogspot.com

Sesama Muslim dilarang saling MENGKAFIRKAN

Posted by Admin

Di kalangan kaum muslimin masih terdapat sebagian orang yang terlalu mudah melontarkan tuduhan kafir, musyrik, fasik dan sebagainya terhadap orang muslim lain hanya karena berbeda perndapat mengenai masalah-masalah tertentu. Sikap demikian disebabkan oleh kurangnya pengertian tentang hukum Syariat Islam. Atau mungkin orang yang dituduh itu dianggap tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dituntut oleh agama. Atau bisa juga tuduhan itu muncul dari sikap fanatic akibat taqlid buta dalam menghayati agama.

Jika sikap gegabah itu disebabkan karena kurangnya pengertian tentang hukum syari’at islam, cara mengatasinya tidak begitu sulit, yaitu dengan cara memberikan pengertian mengenai prinsip-prinsip ajaran agama islam dan hukum-hukum syari’at islam. Kalau disebabkan perasaan tidak puas melihat orang lain tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, motivasi ini baik, tetapi tidak diarahkan menurut jalur yang semestinya. Ia lupa bahwa untuk mendorong orang lain melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diperlukan cara-cara bijaksana dan tidak jemu-jemu memberikan peringatan dengan cara yang sebaik-baiknya. Jika ia merasa perlu berdiskusi maka diskusipun dengan cara yang baik. Sebagaimana tuntunan Alloh :


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah** dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS An Nahl : 125)

**Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Cara yang ditunjukkan oleh Al Qur’an itu lebih mudah dan lebih menjamin tercapainya kebijakan yang kita inginkan. Menempuh cara yang sebaliknya merupakan kekeliruan besar dan akan mendatangkan akibat fatal. Lain hal-nya kalau tuduhan kafir dilontarkan atas dasar fikiran ekstrim dan fanatisme taqlid buta. Persoalan tidak hanya sulit diatasi, bahkan amat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Lagi pula tidak sesuai dengan tuntunan Alloh dan teladan Rosul-Nya. Hal ini memerlukan pembahasan khusus, rumit dan mungkin berliku-liku, karena berkenaan dengan masalah kejiwaan, cara berfikir dan lain-lain.

Seorang yang menunaikan sholat dan kuajiban-kuajiban lainnya akan berusaha mengajak orang lain kejalan hidup lurus dan melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh. Orang yang demikian, tidak boleh diragukan keislamannya. Kalau dalam hal tertentu ia berbeda pandangan dengan kita karena tidak semadzhab dan kemudian kita tuduh kafir, sesungguhnya kita telah melakukan kesalahan besar, karena kita telah melakukan sesuatu yang dilarang Alloh.

Semua imam madzhab dan semua ulama diseluruh dunia islam telah bersepakat untuk melarang mengkafirkan kecuali jika ia mengingkari Alloh atau jelas-jelas mensekutukan-Nya dengan sesembahan lain atau mengingkari kenabian serta kerasulan Muhammad SAW, atau dengan sadar mengingkari sesuatu yang telah diwajibkan oleh agama Alloh atau mengingkari kitabulloh Al Qur’an dan sunnah Rosululloh yang diriwayatkan oleh hadits-hadits shohih yang kebenarannya telah diterima bulat oleh semua ulama islam.

Mengenai soal-soal yang diwajibkan oleh agama islam sebagai aqidah telah sama-sama diketahui. Yang terpokok adalah meyakini keesaan (Wahdaniyah) Alloh SWT, meyakini kenabian para rosul sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup dan terakhir, meyakini kepastian datangnya hari kiamat saat seluruh manusia dibangkitkan kembali, meyakini adanya hisap, meyakini adanya surga dan neraka. Mengingkari soal-soal pokok tersebut baru bisa diartikan kufur. Alasan apapun tidak bisa diterima dari seorang muslim untuk mengatakan “saya tidak tahu” untuk masalah pokok tersebut, kecuali baru saja masuk islam. Akan tapi setelah diberitahu, diberi pengertian, tidak ada alas an lagi baginya untuk menolak keyakinan tentang masalah terebut.

Menetapkan “kekufuran” seseorang berdasarkan alasan-alasan selain tersebut diatas adalah tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya. Dalam sebuah hadits berasal dari Abu Hurairoh ra. dan diriwayatkan oleh Al Bukhari, rosululloh bersabda (artinya), jika ada orang yang berkata kepada saudaranya; “hai kafir!” maka salah satu diantara dua orang itu adalah kafir.”

Yang dimaksud hadits tersebut adalah orang yang disebut kafir itu memang benar-benar kafir, atau jika yang disebut kafir itu orang muslim maka yang menyebut itu sendirilah yang telah berbuat kufur.

Menilai kekufuran seseorang tidak boleh dilakukan oleh siapapun kecuali atas dasar dalil-dalil hukum syara’ yang sah. Menetapkan kekufuran seseorang berdasarkan dugaan yang tidak terbukti kebenarannya menurut syara’, atau hanya berdasarkan dugaan, sangkaan atau perkiraan belaka, sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Mengobral tuduhan semacam itu pasti akan mengacaukan keadaan dan merusak persatuan umat islam, bahkan orang lain enggan mendekati kebenaran Islam.

Seorang muslim yang berbuat maksiatpun tidak boleh dituduh sebagai kafir selagi ia masih tetap beriman dan mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sebuah hadits dari Anas bin Malik ra. Rosululloh saw bersabda (artinya) “Tiga perkara termasuk pokok keimanan; 1. Tidak memusuhi orang yang telah mengucapkan “Tiada Tuhan selain Alloh” (la ilaaha illalloh) dan tidak mengkafirkannya karena berbuat dosa dan tidak mengeluarkannya dari Isalm karena suatu perbuatan. 2. Perjuangan berlaku terus sejak Alloh mengutusku hingga saat umatku yang terakhir memerangi dajjal. Perjuangan itu tidak boleh ditiadakan oleh orang yang dzolim ataupun oleh orang adil. 3. Meyakini takdir Ilahi (HR Abu Dawud).

Imam Al Haramain (Abdul Ma’ali Al-Juwaini) mengatakan; Seandainya ada yang minta kepada saya supaya merumuskan hukum syara’ yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan kekufuran seseorang, pasti saya jawab; Itu merupakan fikiran yang tidak pada tempatnya. Sebab persoalan itu terlalu jauh jangkauannya, persoalan gawat yang pemecahannya harus bersumber pada prinsip tauhid dan orang yang ilmunya tidak mencapai puncak hakekat kebenaran, ia tidak akan memperoleh dalil-dalil pemikiran yang kokoh.

Imam ‘Ali bin Abi Tholib ra. ketika ditanya sahabatnya tentang kedudukan kaum khowarij; Apakah mereka itu orang-orang kafir?, beliau menjawab; Bukan, mereka justru orang-orang yang menjauhkan diri dari kekufuran. Apakah mereka itu orang munafik? Beliau menjawab; Bukan, orang-orang munafik hanya sedikit berdzikir (menyebut nama Alloh), mereka justru orang-orang yang banyak berdzikir. Lantas apa mereka itu? Beliau menjawab; Mereka adalah orang yang dilanda fitnah sehingga menjadi buta dan tuli.

Al Buhkari mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh oleh Abu Dzibyan, bahwa Usamah bin Zaid berkata (artinya) “Pada suatu peperangan, Rosululloh SAW memerintahkan kami menyergap tempat persembunyian musuh. Setelah mereka kalahkan, ada satu orang yang coba melarikan diri. Aku bersama seorang Anshor mengejarnya, tetapi setelah kami tangkap, ia mengucapkan La ilaaha illalloh. Karena temanku tidak mau membunuhnya, kuhujamkan tombakku kepada orang dari pasukan musuh itu hingga mati. Ketika aku menghadap Rosululloh SAW, ternyata beliau telah mendengar berita kejadian itu. Beliau bertanya; “Hai Usamah, benarkah engkau telah membunuhnya setelah dia mengucapkan La ilaha illalloh? Aku menjawab; Ya Rosululloh, ia hanya bermaksud menyelamatkan diri. Rosululloh bertanya lagi; Apakah engkau membelah hatinya, hingga engkau tau dia itu benar atau bohong? Selanjutnya Usamah berkata, sejak saat itu aku tidak membunuh lagi orang yang telah mengucapkan La ilaha illalloh.”

(HMH Al Hamid Al Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, 1997)
Tulisan ini saya kutip dari sebuah situs blog ini ajisetiawan1.blogspot.com



Menjadikan Fikih Sebagai Pemikiran Sosial yang Dinamis.
Kiai Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren. Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk
pribadi dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar,
dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas.

Membaca riwayat hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya.
Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di "singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya, bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan kepedulian yang tinggi.

Bidang ekonomi rakyat.
Kredibilitas keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh
masyarakat, tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan
terpilihnya beliau sebagai Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional
terbukti dengan terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada 2000. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan
prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam
menyikapi berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411),
tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.


Dia lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937, putra KH.
Mahfud Salam dan memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin. Ia
memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-
1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun
belajar di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare,
Kediri, Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-x.960 d
belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada
pertengahan tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan
langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya
diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Hampir seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961
Kiai Sahal sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia
menjadi dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi
dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak.
Syariah LAIN Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor
Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi
kolomnis tetap di majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap
di Harian Suara Merdeka (Jateng). Meski dia memiliki kesibukan sebagai
Rais'Am NU dan Ketua Umum MUI serta sebagai Rektor UNISNU, dia tetap
menjadi pengasuh pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati. Kiai Sahal aktif di
organisasi massa keagamaan, pertama-tama di NU sebagai Katib Syuriah Partai
NU Cabang Pati pada 1967-1975, sampai kemudian dia menduduki jabatan
tertinggi dalam organisasi ini, yakni sebagai Rais Am Syuriah PB NU untuk
periode 1999-2004. Dalam waktu yang hampir bersamaan dia terpilih menjadi
Ketua Umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005. Dalam posisinya sebagai
Ketua Umum MUI ini dia secara ex officio menjadi Ketua Dewan Syari'ah
Nasional (DSN), sebuah lembaga yang berfungsi memberikan fatwa, kontrol dan
rekomendasi tentang produk-produk lembaga keuangan syariah dan lembaga
bisnis syari'ah.
Kiai Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi
yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah
ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan
sebagian karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih
Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).

Pengembangan Ilmu Fikih

Pemikiran KHM A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya
menunjukkan bahwa dia mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah,
penanganan zakat, dinamika dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada
masalah pengentasan kemiskinan. Di luar itu semua, kontribusi pemikiran yang
paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Concern
utamanya adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan
kondisi sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya
menggali fikih sosial dari pergulatan nyata antara "kebenaran agama" dan
realitas sosial yang senantiasa timpang. Menurutnya, fikih selalu menjumpai
konteks dan realitas yang bersifat dinamis.

sumber: www.nu.or.id







KH.A. SAHAL MAHFUDZ

Posted by Admin



Menjadikan Fikih Sebagai Pemikiran Sosial yang Dinamis.
Kiai Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren. Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk
pribadi dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar,
dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas.

Membaca riwayat hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya.
Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di "singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya, bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan kepedulian yang tinggi.

Bidang ekonomi rakyat.
Kredibilitas keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh
masyarakat, tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan
terpilihnya beliau sebagai Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional
terbukti dengan terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada 2000. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan
prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam
menyikapi berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411),
tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.


Dia lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937, putra KH.
Mahfud Salam dan memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin. Ia
memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-
1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun
belajar di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare,
Kediri, Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-x.960 d
belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada
pertengahan tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan
langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya
diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Hampir seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961
Kiai Sahal sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia
menjadi dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi
dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak.
Syariah LAIN Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor
Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi
kolomnis tetap di majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap
di Harian Suara Merdeka (Jateng). Meski dia memiliki kesibukan sebagai
Rais'Am NU dan Ketua Umum MUI serta sebagai Rektor UNISNU, dia tetap
menjadi pengasuh pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati. Kiai Sahal aktif di
organisasi massa keagamaan, pertama-tama di NU sebagai Katib Syuriah Partai
NU Cabang Pati pada 1967-1975, sampai kemudian dia menduduki jabatan
tertinggi dalam organisasi ini, yakni sebagai Rais Am Syuriah PB NU untuk
periode 1999-2004. Dalam waktu yang hampir bersamaan dia terpilih menjadi
Ketua Umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005. Dalam posisinya sebagai
Ketua Umum MUI ini dia secara ex officio menjadi Ketua Dewan Syari'ah
Nasional (DSN), sebuah lembaga yang berfungsi memberikan fatwa, kontrol dan
rekomendasi tentang produk-produk lembaga keuangan syariah dan lembaga
bisnis syari'ah.
Kiai Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi
yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah
ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan
sebagian karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih
Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).

Pengembangan Ilmu Fikih

Pemikiran KHM A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya
menunjukkan bahwa dia mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah,
penanganan zakat, dinamika dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada
masalah pengentasan kemiskinan. Di luar itu semua, kontribusi pemikiran yang
paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Concern
utamanya adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan
kondisi sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya
menggali fikih sosial dari pergulatan nyata antara "kebenaran agama" dan
realitas sosial yang senantiasa timpang. Menurutnya, fikih selalu menjumpai
konteks dan realitas yang bersifat dinamis.

sumber: www.nu.or.id








Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kota Makassar? Pastilah yang ada hanyalah kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara seperti yang sering diberitakan di media massa. Itulah imej yang ada pada beberapa orang saat ini. Namun kenyataanya kota Makassar tidak seseram yang dibayangin orang. Dan bila ditelusuri, di kota Makassar ini terdapat seorang Habib yang menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar dan sekitarnya.
Beliau adalah Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid yang lahir dan dibesarkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan 42 tahun yang lalu. Beliau merupakan figur yang tidak asing lagi bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya kota Makassar. Bisa dibilang bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi Makassar serta dakwah dan mahabbah kepada Rasulullah SAW.
Habib yang meraih gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (FE UMI) Makassar ini sekitar tahun 2001 memutuskan untuk fokus berdakwah dan mendirikan Majelis Taklim dan Dzikir Al-Mubarak. “Awalnya yang mengaji dua-tiga orang,” kenangnya.
Bertempat di kediamannya, Jalan Tinumbu 19 Panampu Kota Makassar, Habib Mahmud memberikan dakwahnya kepada masyarakat melalui Majelis Al-Mubarak yang dirintisnya. Majelis Al-Mubarak ini mempunyai jadwal majelis mingguan setiap Malam Jum’at jam 18.00 WITA yang acaranya berupa pembacaan Ratib Al-Haddad dan Maulid Ad-Diba’i disertai taushiyahnya. Namun dalam perkembangannya, sering juga dibacakan Maulid Simthud Durar dan Maulid Al-Burdah. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat menjadi tidak bosan dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.


Alhamdulillah dari waktu ke waktu yang ikut majelis Taklim pun semakin banyak. Disamping itu kegiatan majelis Al-Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya taklim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim. Setiap tahun juga diadakan Tabligh akbar dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar.
Bagi masyarakat kota Makassar dan sekitarnya, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang tidak mengetahui apa itu Habib, apa itu ahlulbayt. Namun perlahan tapi pasti, berbagai kegiatan yang dilakukan Habib Mahmud yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa. Ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mammiri tersebut. “Kita benar-benar memulai dari nol, jatuh bangun, dianggap bid’ah, dijauhi… Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah SAW sekarang semakin banyak jamaah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqomah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah SWT. Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz (Daarul Mushtofa). Habib Umar bin Hafidz ini merupakan salah satu tokoh yang sering menjadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Al-Mubarak. Beberapa Tahun yang lalu, Habib Umar berkunjung ke Daarul Musthofa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz dan alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan khususnya Makassar semakin berkembang luas dan semarak.
Menurut Habib Mahmud, metode di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di jawa habaib dan ulama melimpah, tapi disini jumlahnya sangat sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah kesini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi Program Habib Umar bin Hafidz yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar kemana-mana, jangan pilah-pilih medan dakwah,” ujarnya.

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid

Posted by Admin


Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kota Makassar? Pastilah yang ada hanyalah kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara seperti yang sering diberitakan di media massa. Itulah imej yang ada pada beberapa orang saat ini. Namun kenyataanya kota Makassar tidak seseram yang dibayangin orang. Dan bila ditelusuri, di kota Makassar ini terdapat seorang Habib yang menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar dan sekitarnya.
Beliau adalah Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid yang lahir dan dibesarkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan 42 tahun yang lalu. Beliau merupakan figur yang tidak asing lagi bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya kota Makassar. Bisa dibilang bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi Makassar serta dakwah dan mahabbah kepada Rasulullah SAW.
Habib yang meraih gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (FE UMI) Makassar ini sekitar tahun 2001 memutuskan untuk fokus berdakwah dan mendirikan Majelis Taklim dan Dzikir Al-Mubarak. “Awalnya yang mengaji dua-tiga orang,” kenangnya.
Bertempat di kediamannya, Jalan Tinumbu 19 Panampu Kota Makassar, Habib Mahmud memberikan dakwahnya kepada masyarakat melalui Majelis Al-Mubarak yang dirintisnya. Majelis Al-Mubarak ini mempunyai jadwal majelis mingguan setiap Malam Jum’at jam 18.00 WITA yang acaranya berupa pembacaan Ratib Al-Haddad dan Maulid Ad-Diba’i disertai taushiyahnya. Namun dalam perkembangannya, sering juga dibacakan Maulid Simthud Durar dan Maulid Al-Burdah. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat menjadi tidak bosan dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.


Alhamdulillah dari waktu ke waktu yang ikut majelis Taklim pun semakin banyak. Disamping itu kegiatan majelis Al-Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya taklim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim. Setiap tahun juga diadakan Tabligh akbar dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar.
Bagi masyarakat kota Makassar dan sekitarnya, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang tidak mengetahui apa itu Habib, apa itu ahlulbayt. Namun perlahan tapi pasti, berbagai kegiatan yang dilakukan Habib Mahmud yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa. Ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mammiri tersebut. “Kita benar-benar memulai dari nol, jatuh bangun, dianggap bid’ah, dijauhi… Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah SAW sekarang semakin banyak jamaah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqomah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah SWT. Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz (Daarul Mushtofa). Habib Umar bin Hafidz ini merupakan salah satu tokoh yang sering menjadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Al-Mubarak. Beberapa Tahun yang lalu, Habib Umar berkunjung ke Daarul Musthofa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz dan alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan khususnya Makassar semakin berkembang luas dan semarak.
Menurut Habib Mahmud, metode di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di jawa habaib dan ulama melimpah, tapi disini jumlahnya sangat sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah kesini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi Program Habib Umar bin Hafidz yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar kemana-mana, jangan pilah-pilih medan dakwah,” ujarnya.

Mungkin saat kita berdiskusi dengan golongan yang mengaku sebagai salafi, salafiyun atau salafush shalih, akan menimbulkan kesan bahwa golongan ini merasa paling benar sendiri dan cenderung mencela golongan lain. Sehingga tidak ada golongan yang begitu aktif mencela golongan lain selain salafi, baik melalui buku-buku dan website mereka

Karakter-karakter salafi dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Merasa dirinya paling benar dan Satu-satunya golongan yang selamat, benar dan masuk syurga

Salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi,

Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Ditanyakan kepada beliau: "Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku." [HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim].

Keyakinan salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan: “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”, hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits Rasulullah Saw, Rasulullah saw bersabda: ‘Inilah jalan Allah yang lurus’ Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: ‘Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya’ Kemudian beliau membaca ayat, Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (Qs. al-An’aam [6]: 153). [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim]. (lihat 5, hal 47-48).

Dengan mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi,

“Dan orang-orang yang tetap diatas manhaj Nabi saw, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi” (lihat 1, hal 33 catatan kaki).

“Kami diatas manhaj yang selamat, diatas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan –alhamdulillah-” (lihat 1, hal 76-77).

“Jadi jika benar dia diatas manhaj Rasulullah Saw dan manhaj salafu ash-shalih, maka dia dari ahlu jannah. Bila dia menjadi orang yang berbeda diatas manhaj sesat, maka dia terancam neraka” (lihat 1, hal 110).

“Saya (Abu Abdillah) berkata: Subhanallah! Bagaimana dia membolehkan dirinya menggabungkan antara manhaj salaf yang benar dengan manhaj-manhaj dan kelompok-kelompok bid’ah yang sesat dan bathil” (lihat 1, hal 32 catatan kaki).

“Jalan merekalah yang harus ditempuh oleh generasi yang datang setelahnya, memahami dengan pemahaman mereka, menerapkan dan mendakwahkannya seperti mereka. Jalan merekalah yang kemudian dikenal dengan istilah manhaj salaf, metode salaf, ajaran salaf atau pemahaman salaf dan lain-lain” (lihat 4).

Akibatnya, sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad golongan/ulama lain yang berbeda dengan mereka, karena salafi meyakini kebenaran hanya satu dan salafi-lah pemilik kebenaran itu, karena merekalah golongan yang paling sesuai dengan as-sunnah, yang paling benar, selamat dan ahlu jannah.

Dalam hadits tersebut ada kata firqah, tapi dalam konteks ini sebagai seseorang/golongan yang dikutuk karena tindakan yang mereka lakukan telah menyimpang dari wahyu Allah. Firqah yang dihukum dan masuk kedalam api neraka, serta firqah yang selamat dan masuk syurga tidak bisa dinisbatkan kepada golongan tertentu. Oleh karena itu, mereka-mereka yang mengikuti mazhab-mazhab tertentu atau golongan lain selain salafi tidaklah bisa diberi label ‘sesat’. (lihat 2).

Kebenaran hanya milik Allah swt, bukan milik satu golongan. Bahkan para Imam Madzhab sendiri tidak pernah meng-klaim bahwa diri (madzhab) merekalah yang paling benar, simaklah pernyataan para Imam Madzhab tersebut,

Imam Abu Hanifah (Hanafi): “Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku”. “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya”

Imam Malik (Maliki): “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan al-Qur'an dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan al-Quran dan sunnah, tinggalkanlah”

Imam Syafi’i: “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah Saw, peganglah hadits Rasulullah Saw itu dan tinggalkanlah pendapatku itu”

Imam Ahmad bin Hambal (Hambali): “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil” (lihat 8, hal 53-60).

Begitulah para Imam Madzhab menganjurkan untuk tidak merasa paling benar sendiri dan tidak taqlid kepada satu golongan, merekalah salafus shalih yang benar. Ketika salafi merasa paling benar sendiri, maka salafi bukanlah salafush shalih yang benar seperti yang telah dicontohkan oleh para Imam Madzhab.

Bahkan diantara Imam Madzhab terdapat perbedaan ijtihad dalam beberapa masalah furu’, mereka tidak saling membid’ahkan dan menyesatkan satu sama lain. Bahkan menganjurkan untuk menelaah dulu hujjah mereka dan jika ada hujjah yang lebih kuat (quwwatut dalil) silahkan diambil hujjah itu.

Dilain hal, jaminan Allah SWT terhadap hamba-Nya ahli syurga adalah kepada orang yang mukmin, tidak ada klasifikasi apakah mukmin salafi, mukmin ikhwani, mukmin tahriri, mukmin tablighi, dan mukmin-mukmin tertentu saja. Selama mukmin tersebut menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, maka Allah SWT menjanjikan syurga bagi mukmin tersebut,

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. (Qs. at-Taubah [9]: 111).

Golongan yang lain adalah sesat dan bid’ah serta lebih berbahaya daripada golongan fasik

Salafi meyakini golongan lain yang berbeda dengan mereka sebagai sesat dan ahlu bid’ah. Golongan bi’dah ini lebih berbahaya dari pada golongan fasik (pelaku maksiat), karena golongan fasik masih bisa dinasehati dan diajak kejalan yang benar karena mereka tahu telah berbuat maksiat, sedangkan ahlu bid’ah tidak tahu bahwa mereka telah sesat, sehingga sulit untuk diajak kejalan yang benar.

“Sebab pelaku maksiat masih bisa diharap untuk bertaubat, karena dia merasa berdosa dan tahu bahwa dirinya berbuat maksiat. Berbeda dengan ahli bid’ah, sedikit sekali kemungkinannya untuk bertaubat. Karena mubtadi’ (pelaku bid’ah) menyangka kalau dirinya diatas kebenaraan, dan menyangka bahwa dirinya orang yang taat serta diatas ketaatan.” (lihat 1, hal 22).

Istiqamahnya golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh salafi dengan pendapat (ijtihad) mereka, adalah hal yang wajar dan dapat dipahami, karena golongan ini mempunyai hujjah yang kuat juga untuk mempertahankan ijtihad mereka. Disisi lain, perbedaan dalam masalah furu’iyah khilafiyah merupakan hal yang biasa dalam khasanah Islam dan para mujtahid (lihat penjelasan pada poin 2).

Hanya mereka yang berhak menyandang nama salafi

Salafi meyakini bahwa wajib memberikan nama golongan yang selamat itu sebagai salafi dan melarang golongan lain menggunakan nama salafi, “Jadi penisbatan kepada salaf adalah penisbatan yang harus, sehingga jelaslah bagi salafi (pengikut salaf) terhadap al-haq” (lihat 1, hal 33 catatan kaki).

“Oleh karenanya tidak boleh memakai nama salafiyah, bila tidak diatas manhaj salaf” (lihat 1, hal 34).

Sikap ini menunjukkan rasa ‘ashabiyyah yang kental, dengan menganggap golongannya yang paling benar dan Rasulullah Saw mencela sikap ‘ashabiyyah ini,

Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada 'ashabiyyah, orang yang berperang karena 'ashabiyyah, serta orang yang mati karena 'ashabiyyah. [HR Abu Dawud].

Bahkan Shalih bin Fauzan Al-Fauzan yang merekomendasikan kitab “Menepis penyimpangan manhaj Dakwah”, dalam kitabnya Al-Wala’ dan Al-Bara’ melarang bersikap ‘ashabiyyah,

“Inilah keadaan orang-orang yang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan as-sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan as-sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka” (lihat 3, hal 63-64).

Bagaimana bisa timbul pertentangan, satu sisi merekomendasikan sebuah kitab yang sangat kental sikap ‘ashabiyyahnya karena merasa golongan yang paling benar dan hanya mengacu kepada ijtihad ulamanya sendiri, tetapi dalam kitab lain melarang orang-orang bersikap ‘ashabiyyah. Ini salah satu pertentangan beberapa kitab diantara ulama-ulama salafi, bahkan dalam satu kitab bisa terjadi pertentangan satu sama lain.


2. Mencela golongan/ulama lain

Tidak boleh berkasih sayang, berteman, semajelis dan shalat dibelakang golongan sesat dan bid’ah. Jangan ungkapkan kebaikannya dan selalu ungkapkan keburukan golongan sesat dan bid’ah.

Terkait dengan poin 1 diatas dimana hanya golongan salafi-lah yang paling benar, mengakibatkan salafi dengan mudah mencela golongan/ulama lain yang berbeda ijtihad dengan mereka, bahkan salafi melarang berkasih sayang dan berteman dengan mereka,

“Adapun apabila bermaksud berkasih sayang dengan mereka atau berteman dengan mereka tanpa (ada maksud) mendakwahi dan menjelaskan yang haq, maka tidak boleh. Seseorang tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang menyimpang tersebut, kecuali didalamnya didapatkan faedah syar’i, yaitu menyeru mereka kepada Islam yang benar dan menjelaskan al-haq agar kembali kepada kebenaran” (lihat 1, hal 26).

Tidak boleh semajelis dengan mereka, “Abu Qalabah berkata: Janganlah kalian bermajelis dengan mereka dan jangan kalian bergaul dengan mereka. Sesungguhnya saya tidak merasa aman dari mereka yang akan menceburkan kalian dalam kesesatannya. Atau mengaburkan kebenaran-kebenaran yang telah kalian ketahui” (lihat 1, hal 111 catatan kaki).

Bahkan salafi tidak boleh shalat dibelakang mereka,

“Jangan shalat dibelakang mereka, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah” (lihat 1, hal 66 catatan kaki).

Tidak boleh mengungkapkan secuilpun kebaikan mereka karena mengakibatkan orang awam akan mengikuti mereka, harus diungkapkan keburukan-keburukannya,

“Apabila engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya, berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan… jangan engkau sebutkan kebaikan-kebaikannya. Sebutkan saja penyimpangan-penyimpangan yang ada pada mereka. Karena engkau diserahi untuk menjelaskan kedudukan mereka dan kesalahan-kesalahan agar mereka mau bertaubat, dan agar orang lain berhati-hati terhadapnya” (lihat 1, hal 28-29).

Begitu berbahayanya golongan yang dianggap sebagai sesat dan bid’ah tersebut, sehingga “nyaris” diperlakukan seperti orang kafir, tidak boleh berteman, berkasih sayang dan semajelis dengan mereka. Karena begitulah perintah Allah swt dalam memperlakukan orang-orang kafir, mukmin tidak boleh berteman dekat dengan orang kafir,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. (Qs. Ali'Imraan [3]: 118).

Tidak boleh semajelis dengan mereka,

Dan sungguh Allah telah menurunkan padamu didalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk berserta mereka. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir didalam neraka jahanam. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 140).

Padahal sesama mukmin itu bersaudara, apapun golongan, kebangsaan, dan sukunya, selama ia seorang muslim maka ia saudara bagi muslim yang lain. Rasulullah saw tidak pernah membedakan antara Abu Bakar dan Umar yang Arab, Bilal yang Habsyi (negro), Salman yang Persi dan Shuhail yang Rumawi, semuanya sama dihadapan Rasulullah Saw selama mereka beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Qs. al-Hujuraat [49]: 10).

Sesama mukmin tidak boleh saling mencela, mendzalimi dan merendahkan, serta harus berda’wah dengan lemah lembut,

Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; satu sama lain tidak boleh saling mendzalimi, menelantarkan dan merendahkan. [HR Muslim dan Ahmad].

Maka disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. (Qs. Ali-'Imraan [3]: 159)

Golongan sesat dan bid’ah harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan

Salafi meyakini golongan sesat dan menyesatkan ini (termasuk partai politik dan salafi memberikan istilah hizbiyyah atau haraqah, metode da’wah hizbiyyah ini beraneka ragam, ruwet, lagi kacau lihat 6, hal 39) harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan karena sangat berbahaya bagi masyarakat, karena golongan ini akan meracuni masyarakat dan menyebar perpecahan umat.

“Da’i salafiyun tidak boleh memberi kelapangan bagi tersebarnya manhaj-manhaj mereka. Bahkan wajib mempersempit ruang gerak dan memusnahkan manhaj mereka” (lihat 1, hal 69 catatan kaki).

Sehingga kaum muslimin harus menyatu dalam satu golongan saja, yakni salafi. Tidak boleh ada golongan-golongan lain yang eksis, adanya jamaah-jamaah, kelompok-kelompok atau golongan-golongan menunjukkan adanya perpecahan umat Islam. (lihat 6, hal 39).

Hampir semua golongan dianggap sesat dan menyesatkan oleh salafi, mereka pukul rata antara golongan yang sesat dengan golongan yang benar. Hanya gara-gara beberapa perbedaan ijitihad dalam masalah furu’, dengan mudah salafi menyesatkan golongan tersebut.

Salafi menyesatkan golongan syi’ah (rafidhah) dan Ahmadiyah, salafi juga menyesatkan pula golongan lain yang berbeda ijtihad dalam beberapa hal dengan mereka semisal Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, NII, Tasawuf, dan lain-lain. (lihat 5, hal 95-145).

“Saya (Abu Abdillah) berkata: Ya Allah ya Rab kami saksikanlah bahwa kami bara’ (berlepas diri) dari dakwah IM dan pendirinya, yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah dan apa-apa yang ada pada pendahulu umat ini” (lihat 1, hal 26 catatan kaki).

Ulama yang berbeda ijtihad dengan salafi dianggap sesat dan ahlu bid’ah, diharamkan membaca kitab-kitab mereka

Ulama-ulama besar dan berjasa bagi kebangkitan kaum muslimin tidak luput dari celaan salafi, menganggap mereka ahlu bid’ah, dilarang memuji, mengagungkan mereka, mengharamkan untuk membaca kitab-kitab mereka dan mendengarkan kaset-kaset mereka. Hal ini terjadi karena perbedaan ijtihad dalam beberapa hal saja. Ulama yang mereka anggap sesat dan ahlu bid’ah antara lain; Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abul A’la Al-Maududi, Taqiyuddin An-Nabhani, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Surur, Hasan Turabi, Yusuf Qaradhawi, dan lain-lain.

Bahkan ada orang yang memuji-muji: “Abul A’la Al-Maududi dan kitab-kitabnya, Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Hasan Turabi dan yang semisal mereka dari kalangan ahlu bid’ah” (lihat 1, 129 catatan kaki).

“Tidak boleh membaca kitab-kitab ahlu bid’ah maupun mendengarkan kaset-kaset mereka. Kecuali orang yang ingin membantah dan menjelaskan kerusakan mereka” (lihat 1, hal 111).

“Hingga siapa saja yang memuji, memuliakan, mengagungkan kitab-kitab mereka, atau memberi udzur (maaf) untuk mereka, maka samakan dia dengan mereka (ahlul bid’ah dan ahlu ahwa’), dan tidak ada kemuliaan bagi mereka semua” (lihat 1, hal 133 catatan kaki).

“Hati-hati engkau terhadap kitab-kitab ini. Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat, berpeganglah kalian kepada atsar” (lihat 1, hal 112 catatan kaki).

Sungguh sikap tercela dengan menganggap golongan/ulama itu sesat, hanya karena dalam beberapa hal ijtihad mereka berseberangan dengan salafi. Dalam masalah-masalah furu’iyah khilafiyah bisa saja perbedaan ijtihad, para sahabat seringkali berbeda pendapat dalam banyak hal, yang terkait kepada masalah-masalah furu’. Mujtahid-mujtahid besar dalam Islam-pun mempunyai perbedaan pendapat diberbagai aspek agama Islam, tetapi sekali lagi masalah yang menjadi dasar perbedaan tersebut adalah dalam furu’. Tetapi mereka tidak saling menyesatkan dan membid’ahkan. (lihat 2)

Kasus yang sangat populer dizaman Rasulullah Saw dimana diyakini sebagai landasan dibolehkannya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah furu’, adalah saat perang Khandaq. Dimana para sahabat memahami berbeda perintah Rasulullah Saw,

Janganlah salah seorang dari kalian melaksanakan shalat ashar kecuali di(daerah) Bani Quraizhah.

Para sahabat ada yang shalat ashar dalam perjalanan, ada juga yang mengakhirkan shalat ‘ashar hingga sampai di Bani Quraizhah, maka Rasulullah Saw-pun mendiamkan (taqrir) kedua kelompok sahabat yang berbeda itu (lihat 7, hal 14). Hal ini diyakini bahwa dibolehkan terjadinya ikhtilaf dalam masalah furu’ dan membantah dengan tegas pernyataan salafi bahwa “Kebenaran hanya satu”, karena dalam kasus melaksanakan shalat ‘ashar yang berbeda diantara dua kelompok sahabat ini didiamkan (taqrir) oleh Rasulullah saw atau kedua kelompok sahabat itu benar dan tidak ada yang salah.

Khatimah:

1. Salafi merasa dirinya yang paling benar, karena mereka meyakini kebenaran hanya satu, indikasi yang terdapat dalam hadits hanya satu golongan yang masuk syurga dari 73 golongan adalah golongan salafi, serta salafi menganggap sesat dan bid’ah golongan yang berseberangan ijtihad dengan mereka. Sehingga sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad yang berbeda dengan mereka dan sangat taqlid dengan ijtihad ulama-ulama mereka.

2. Salafi cenderung mencela golongan lain, karena salafi diperintahkan untuk mengungkapkan semua keburukan golongan sesat dan bid’ah itu dan dilarang mengungkapkan secuil-pun kebaikan mereka. Karena mengungkapkan kebaikan mereka akan menyebabkan orang lain mengikuti golongan sesat dan bid’ah itu. Sehingga tidak heran jika buku-buku dan website-website salafi banyak memuat celaan sesat dan bid’ah kepada golongan lain.

3. Salafi juga melarang untuk berkasih sayang, berteman dengan golongan selain mereka, bahkan tidak boleh shalat dibelakang mereka, salafi menyesatkan ulama yang mereka anggap ahlu bid’ah, melarang memuji, mengagungkan, membaca kitab dan mendengarkan kaset ulama-ulama tersebut. Sehingga salafi akan mengalami kesulitan dalam menjalin ukhuwah dengan golongan lain, malah akan menimbulkan pertentangan dan perpecahan dengan golongan lain.

4. Salafi akan menghambat gerak da’wah golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh mereka, bahkan harus memusnahkan mereka (golongan da’wah dan partai politik), karena golongan itu akan meracuni umat dan menimbulkan perpecahan. Sehingga akan timbul benturan dimedan da’wah antara salafi dengan golongan lain, karena golongan lain merasa dihalang-halangi saat berda’wah diarea-area yang dikuasai oleh salafi.

Diharapkan setelah memahami karakter salafi ini, kita mampu mengantisipasi menghadapi golongan seperti ini. Tetapi jangan kaget, jika penjelasan dari kitab-kitab salafi diatas, akan ditemukan pertentangan dalam kitab-kitab salafi yang lain. Karena diantara ulama salafi sendiri bisa terjadi saling pertentangan, seperti halnya terpecahnya salafi dalam beberapa golongan. Wallahua’lam,

Memahami Karakter Golongan SALAFI

Posted by Admin

Mungkin saat kita berdiskusi dengan golongan yang mengaku sebagai salafi, salafiyun atau salafush shalih, akan menimbulkan kesan bahwa golongan ini merasa paling benar sendiri dan cenderung mencela golongan lain. Sehingga tidak ada golongan yang begitu aktif mencela golongan lain selain salafi, baik melalui buku-buku dan website mereka

Karakter-karakter salafi dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Merasa dirinya paling benar dan Satu-satunya golongan yang selamat, benar dan masuk syurga

Salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi,

Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Ditanyakan kepada beliau: "Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku." [HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim].

Keyakinan salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan: “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”, hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits Rasulullah Saw, Rasulullah saw bersabda: ‘Inilah jalan Allah yang lurus’ Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: ‘Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya’ Kemudian beliau membaca ayat, Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (Qs. al-An’aam [6]: 153). [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim]. (lihat 5, hal 47-48).

Dengan mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi,

“Dan orang-orang yang tetap diatas manhaj Nabi saw, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi” (lihat 1, hal 33 catatan kaki).

“Kami diatas manhaj yang selamat, diatas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan –alhamdulillah-” (lihat 1, hal 76-77).

“Jadi jika benar dia diatas manhaj Rasulullah Saw dan manhaj salafu ash-shalih, maka dia dari ahlu jannah. Bila dia menjadi orang yang berbeda diatas manhaj sesat, maka dia terancam neraka” (lihat 1, hal 110).

“Saya (Abu Abdillah) berkata: Subhanallah! Bagaimana dia membolehkan dirinya menggabungkan antara manhaj salaf yang benar dengan manhaj-manhaj dan kelompok-kelompok bid’ah yang sesat dan bathil” (lihat 1, hal 32 catatan kaki).

“Jalan merekalah yang harus ditempuh oleh generasi yang datang setelahnya, memahami dengan pemahaman mereka, menerapkan dan mendakwahkannya seperti mereka. Jalan merekalah yang kemudian dikenal dengan istilah manhaj salaf, metode salaf, ajaran salaf atau pemahaman salaf dan lain-lain” (lihat 4).

Akibatnya, sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad golongan/ulama lain yang berbeda dengan mereka, karena salafi meyakini kebenaran hanya satu dan salafi-lah pemilik kebenaran itu, karena merekalah golongan yang paling sesuai dengan as-sunnah, yang paling benar, selamat dan ahlu jannah.

Dalam hadits tersebut ada kata firqah, tapi dalam konteks ini sebagai seseorang/golongan yang dikutuk karena tindakan yang mereka lakukan telah menyimpang dari wahyu Allah. Firqah yang dihukum dan masuk kedalam api neraka, serta firqah yang selamat dan masuk syurga tidak bisa dinisbatkan kepada golongan tertentu. Oleh karena itu, mereka-mereka yang mengikuti mazhab-mazhab tertentu atau golongan lain selain salafi tidaklah bisa diberi label ‘sesat’. (lihat 2).

Kebenaran hanya milik Allah swt, bukan milik satu golongan. Bahkan para Imam Madzhab sendiri tidak pernah meng-klaim bahwa diri (madzhab) merekalah yang paling benar, simaklah pernyataan para Imam Madzhab tersebut,

Imam Abu Hanifah (Hanafi): “Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku”. “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya”

Imam Malik (Maliki): “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan al-Qur'an dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan al-Quran dan sunnah, tinggalkanlah”

Imam Syafi’i: “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah Saw, peganglah hadits Rasulullah Saw itu dan tinggalkanlah pendapatku itu”

Imam Ahmad bin Hambal (Hambali): “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil” (lihat 8, hal 53-60).

Begitulah para Imam Madzhab menganjurkan untuk tidak merasa paling benar sendiri dan tidak taqlid kepada satu golongan, merekalah salafus shalih yang benar. Ketika salafi merasa paling benar sendiri, maka salafi bukanlah salafush shalih yang benar seperti yang telah dicontohkan oleh para Imam Madzhab.

Bahkan diantara Imam Madzhab terdapat perbedaan ijtihad dalam beberapa masalah furu’, mereka tidak saling membid’ahkan dan menyesatkan satu sama lain. Bahkan menganjurkan untuk menelaah dulu hujjah mereka dan jika ada hujjah yang lebih kuat (quwwatut dalil) silahkan diambil hujjah itu.

Dilain hal, jaminan Allah SWT terhadap hamba-Nya ahli syurga adalah kepada orang yang mukmin, tidak ada klasifikasi apakah mukmin salafi, mukmin ikhwani, mukmin tahriri, mukmin tablighi, dan mukmin-mukmin tertentu saja. Selama mukmin tersebut menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, maka Allah SWT menjanjikan syurga bagi mukmin tersebut,

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. (Qs. at-Taubah [9]: 111).

Golongan yang lain adalah sesat dan bid’ah serta lebih berbahaya daripada golongan fasik

Salafi meyakini golongan lain yang berbeda dengan mereka sebagai sesat dan ahlu bid’ah. Golongan bi’dah ini lebih berbahaya dari pada golongan fasik (pelaku maksiat), karena golongan fasik masih bisa dinasehati dan diajak kejalan yang benar karena mereka tahu telah berbuat maksiat, sedangkan ahlu bid’ah tidak tahu bahwa mereka telah sesat, sehingga sulit untuk diajak kejalan yang benar.

“Sebab pelaku maksiat masih bisa diharap untuk bertaubat, karena dia merasa berdosa dan tahu bahwa dirinya berbuat maksiat. Berbeda dengan ahli bid’ah, sedikit sekali kemungkinannya untuk bertaubat. Karena mubtadi’ (pelaku bid’ah) menyangka kalau dirinya diatas kebenaraan, dan menyangka bahwa dirinya orang yang taat serta diatas ketaatan.” (lihat 1, hal 22).

Istiqamahnya golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh salafi dengan pendapat (ijtihad) mereka, adalah hal yang wajar dan dapat dipahami, karena golongan ini mempunyai hujjah yang kuat juga untuk mempertahankan ijtihad mereka. Disisi lain, perbedaan dalam masalah furu’iyah khilafiyah merupakan hal yang biasa dalam khasanah Islam dan para mujtahid (lihat penjelasan pada poin 2).

Hanya mereka yang berhak menyandang nama salafi

Salafi meyakini bahwa wajib memberikan nama golongan yang selamat itu sebagai salafi dan melarang golongan lain menggunakan nama salafi, “Jadi penisbatan kepada salaf adalah penisbatan yang harus, sehingga jelaslah bagi salafi (pengikut salaf) terhadap al-haq” (lihat 1, hal 33 catatan kaki).

“Oleh karenanya tidak boleh memakai nama salafiyah, bila tidak diatas manhaj salaf” (lihat 1, hal 34).

Sikap ini menunjukkan rasa ‘ashabiyyah yang kental, dengan menganggap golongannya yang paling benar dan Rasulullah Saw mencela sikap ‘ashabiyyah ini,

Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada 'ashabiyyah, orang yang berperang karena 'ashabiyyah, serta orang yang mati karena 'ashabiyyah. [HR Abu Dawud].

Bahkan Shalih bin Fauzan Al-Fauzan yang merekomendasikan kitab “Menepis penyimpangan manhaj Dakwah”, dalam kitabnya Al-Wala’ dan Al-Bara’ melarang bersikap ‘ashabiyyah,

“Inilah keadaan orang-orang yang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan as-sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan as-sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka” (lihat 3, hal 63-64).

Bagaimana bisa timbul pertentangan, satu sisi merekomendasikan sebuah kitab yang sangat kental sikap ‘ashabiyyahnya karena merasa golongan yang paling benar dan hanya mengacu kepada ijtihad ulamanya sendiri, tetapi dalam kitab lain melarang orang-orang bersikap ‘ashabiyyah. Ini salah satu pertentangan beberapa kitab diantara ulama-ulama salafi, bahkan dalam satu kitab bisa terjadi pertentangan satu sama lain.


2. Mencela golongan/ulama lain

Tidak boleh berkasih sayang, berteman, semajelis dan shalat dibelakang golongan sesat dan bid’ah. Jangan ungkapkan kebaikannya dan selalu ungkapkan keburukan golongan sesat dan bid’ah.

Terkait dengan poin 1 diatas dimana hanya golongan salafi-lah yang paling benar, mengakibatkan salafi dengan mudah mencela golongan/ulama lain yang berbeda ijtihad dengan mereka, bahkan salafi melarang berkasih sayang dan berteman dengan mereka,

“Adapun apabila bermaksud berkasih sayang dengan mereka atau berteman dengan mereka tanpa (ada maksud) mendakwahi dan menjelaskan yang haq, maka tidak boleh. Seseorang tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang menyimpang tersebut, kecuali didalamnya didapatkan faedah syar’i, yaitu menyeru mereka kepada Islam yang benar dan menjelaskan al-haq agar kembali kepada kebenaran” (lihat 1, hal 26).

Tidak boleh semajelis dengan mereka, “Abu Qalabah berkata: Janganlah kalian bermajelis dengan mereka dan jangan kalian bergaul dengan mereka. Sesungguhnya saya tidak merasa aman dari mereka yang akan menceburkan kalian dalam kesesatannya. Atau mengaburkan kebenaran-kebenaran yang telah kalian ketahui” (lihat 1, hal 111 catatan kaki).

Bahkan salafi tidak boleh shalat dibelakang mereka,

“Jangan shalat dibelakang mereka, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah” (lihat 1, hal 66 catatan kaki).

Tidak boleh mengungkapkan secuilpun kebaikan mereka karena mengakibatkan orang awam akan mengikuti mereka, harus diungkapkan keburukan-keburukannya,

“Apabila engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya, berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan… jangan engkau sebutkan kebaikan-kebaikannya. Sebutkan saja penyimpangan-penyimpangan yang ada pada mereka. Karena engkau diserahi untuk menjelaskan kedudukan mereka dan kesalahan-kesalahan agar mereka mau bertaubat, dan agar orang lain berhati-hati terhadapnya” (lihat 1, hal 28-29).

Begitu berbahayanya golongan yang dianggap sebagai sesat dan bid’ah tersebut, sehingga “nyaris” diperlakukan seperti orang kafir, tidak boleh berteman, berkasih sayang dan semajelis dengan mereka. Karena begitulah perintah Allah swt dalam memperlakukan orang-orang kafir, mukmin tidak boleh berteman dekat dengan orang kafir,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. (Qs. Ali'Imraan [3]: 118).

Tidak boleh semajelis dengan mereka,

Dan sungguh Allah telah menurunkan padamu didalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk berserta mereka. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir didalam neraka jahanam. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 140).

Padahal sesama mukmin itu bersaudara, apapun golongan, kebangsaan, dan sukunya, selama ia seorang muslim maka ia saudara bagi muslim yang lain. Rasulullah saw tidak pernah membedakan antara Abu Bakar dan Umar yang Arab, Bilal yang Habsyi (negro), Salman yang Persi dan Shuhail yang Rumawi, semuanya sama dihadapan Rasulullah Saw selama mereka beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Qs. al-Hujuraat [49]: 10).

Sesama mukmin tidak boleh saling mencela, mendzalimi dan merendahkan, serta harus berda’wah dengan lemah lembut,

Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; satu sama lain tidak boleh saling mendzalimi, menelantarkan dan merendahkan. [HR Muslim dan Ahmad].

Maka disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. (Qs. Ali-'Imraan [3]: 159)

Golongan sesat dan bid’ah harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan

Salafi meyakini golongan sesat dan menyesatkan ini (termasuk partai politik dan salafi memberikan istilah hizbiyyah atau haraqah, metode da’wah hizbiyyah ini beraneka ragam, ruwet, lagi kacau lihat 6, hal 39) harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan karena sangat berbahaya bagi masyarakat, karena golongan ini akan meracuni masyarakat dan menyebar perpecahan umat.

“Da’i salafiyun tidak boleh memberi kelapangan bagi tersebarnya manhaj-manhaj mereka. Bahkan wajib mempersempit ruang gerak dan memusnahkan manhaj mereka” (lihat 1, hal 69 catatan kaki).

Sehingga kaum muslimin harus menyatu dalam satu golongan saja, yakni salafi. Tidak boleh ada golongan-golongan lain yang eksis, adanya jamaah-jamaah, kelompok-kelompok atau golongan-golongan menunjukkan adanya perpecahan umat Islam. (lihat 6, hal 39).

Hampir semua golongan dianggap sesat dan menyesatkan oleh salafi, mereka pukul rata antara golongan yang sesat dengan golongan yang benar. Hanya gara-gara beberapa perbedaan ijitihad dalam masalah furu’, dengan mudah salafi menyesatkan golongan tersebut.

Salafi menyesatkan golongan syi’ah (rafidhah) dan Ahmadiyah, salafi juga menyesatkan pula golongan lain yang berbeda ijtihad dalam beberapa hal dengan mereka semisal Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, NII, Tasawuf, dan lain-lain. (lihat 5, hal 95-145).

“Saya (Abu Abdillah) berkata: Ya Allah ya Rab kami saksikanlah bahwa kami bara’ (berlepas diri) dari dakwah IM dan pendirinya, yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah dan apa-apa yang ada pada pendahulu umat ini” (lihat 1, hal 26 catatan kaki).

Ulama yang berbeda ijtihad dengan salafi dianggap sesat dan ahlu bid’ah, diharamkan membaca kitab-kitab mereka

Ulama-ulama besar dan berjasa bagi kebangkitan kaum muslimin tidak luput dari celaan salafi, menganggap mereka ahlu bid’ah, dilarang memuji, mengagungkan mereka, mengharamkan untuk membaca kitab-kitab mereka dan mendengarkan kaset-kaset mereka. Hal ini terjadi karena perbedaan ijtihad dalam beberapa hal saja. Ulama yang mereka anggap sesat dan ahlu bid’ah antara lain; Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abul A’la Al-Maududi, Taqiyuddin An-Nabhani, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Surur, Hasan Turabi, Yusuf Qaradhawi, dan lain-lain.

Bahkan ada orang yang memuji-muji: “Abul A’la Al-Maududi dan kitab-kitabnya, Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Hasan Turabi dan yang semisal mereka dari kalangan ahlu bid’ah” (lihat 1, 129 catatan kaki).

“Tidak boleh membaca kitab-kitab ahlu bid’ah maupun mendengarkan kaset-kaset mereka. Kecuali orang yang ingin membantah dan menjelaskan kerusakan mereka” (lihat 1, hal 111).

“Hingga siapa saja yang memuji, memuliakan, mengagungkan kitab-kitab mereka, atau memberi udzur (maaf) untuk mereka, maka samakan dia dengan mereka (ahlul bid’ah dan ahlu ahwa’), dan tidak ada kemuliaan bagi mereka semua” (lihat 1, hal 133 catatan kaki).

“Hati-hati engkau terhadap kitab-kitab ini. Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat, berpeganglah kalian kepada atsar” (lihat 1, hal 112 catatan kaki).

Sungguh sikap tercela dengan menganggap golongan/ulama itu sesat, hanya karena dalam beberapa hal ijtihad mereka berseberangan dengan salafi. Dalam masalah-masalah furu’iyah khilafiyah bisa saja perbedaan ijtihad, para sahabat seringkali berbeda pendapat dalam banyak hal, yang terkait kepada masalah-masalah furu’. Mujtahid-mujtahid besar dalam Islam-pun mempunyai perbedaan pendapat diberbagai aspek agama Islam, tetapi sekali lagi masalah yang menjadi dasar perbedaan tersebut adalah dalam furu’. Tetapi mereka tidak saling menyesatkan dan membid’ahkan. (lihat 2)

Kasus yang sangat populer dizaman Rasulullah Saw dimana diyakini sebagai landasan dibolehkannya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah furu’, adalah saat perang Khandaq. Dimana para sahabat memahami berbeda perintah Rasulullah Saw,

Janganlah salah seorang dari kalian melaksanakan shalat ashar kecuali di(daerah) Bani Quraizhah.

Para sahabat ada yang shalat ashar dalam perjalanan, ada juga yang mengakhirkan shalat ‘ashar hingga sampai di Bani Quraizhah, maka Rasulullah Saw-pun mendiamkan (taqrir) kedua kelompok sahabat yang berbeda itu (lihat 7, hal 14). Hal ini diyakini bahwa dibolehkan terjadinya ikhtilaf dalam masalah furu’ dan membantah dengan tegas pernyataan salafi bahwa “Kebenaran hanya satu”, karena dalam kasus melaksanakan shalat ‘ashar yang berbeda diantara dua kelompok sahabat ini didiamkan (taqrir) oleh Rasulullah saw atau kedua kelompok sahabat itu benar dan tidak ada yang salah.

Khatimah:

1. Salafi merasa dirinya yang paling benar, karena mereka meyakini kebenaran hanya satu, indikasi yang terdapat dalam hadits hanya satu golongan yang masuk syurga dari 73 golongan adalah golongan salafi, serta salafi menganggap sesat dan bid’ah golongan yang berseberangan ijtihad dengan mereka. Sehingga sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad yang berbeda dengan mereka dan sangat taqlid dengan ijtihad ulama-ulama mereka.

2. Salafi cenderung mencela golongan lain, karena salafi diperintahkan untuk mengungkapkan semua keburukan golongan sesat dan bid’ah itu dan dilarang mengungkapkan secuil-pun kebaikan mereka. Karena mengungkapkan kebaikan mereka akan menyebabkan orang lain mengikuti golongan sesat dan bid’ah itu. Sehingga tidak heran jika buku-buku dan website-website salafi banyak memuat celaan sesat dan bid’ah kepada golongan lain.

3. Salafi juga melarang untuk berkasih sayang, berteman dengan golongan selain mereka, bahkan tidak boleh shalat dibelakang mereka, salafi menyesatkan ulama yang mereka anggap ahlu bid’ah, melarang memuji, mengagungkan, membaca kitab dan mendengarkan kaset ulama-ulama tersebut. Sehingga salafi akan mengalami kesulitan dalam menjalin ukhuwah dengan golongan lain, malah akan menimbulkan pertentangan dan perpecahan dengan golongan lain.

4. Salafi akan menghambat gerak da’wah golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh mereka, bahkan harus memusnahkan mereka (golongan da’wah dan partai politik), karena golongan itu akan meracuni umat dan menimbulkan perpecahan. Sehingga akan timbul benturan dimedan da’wah antara salafi dengan golongan lain, karena golongan lain merasa dihalang-halangi saat berda’wah diarea-area yang dikuasai oleh salafi.

Diharapkan setelah memahami karakter salafi ini, kita mampu mengantisipasi menghadapi golongan seperti ini. Tetapi jangan kaget, jika penjelasan dari kitab-kitab salafi diatas, akan ditemukan pertentangan dalam kitab-kitab salafi yang lain. Karena diantara ulama salafi sendiri bisa terjadi saling pertentangan, seperti halnya terpecahnya salafi dalam beberapa golongan. Wallahua’lam,

Latest Tweets

Visitor

Labels

Pages

Random Post

BUKU TAMU

Two col-left

Software

Followers

What they says

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified
Copyright © 2013 Wong Tegal. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top