What's New Here?


E-book ini saya buat dalam bentuk format exe, agar lebih memudahkan untuk dibaca bagi saudara-saudara yang ingin membaca.

Tanya jawab yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku "Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah". Buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf arab pego, kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang disampaikan KH. Bisri Mustofa di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember 1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali pengaburan makna ahlussunnah. KH. Bisri Mustofa adalah menantu dari KH. Cholil Harun Kasingan Rembang. KH. Cholil Harun sendiri adalah termasuk salah satu guru dari KH. Mahrus Ali Lirboyo dan KH. Aqiel Cirebon (orang tua dari KH. Said Aqiel Siroj, PBNU). KH. Bisri Mustofa sendiri adalah paman dan orang tua angkat dari Ibu Nyai Chasinah binti KH. Chamzawi Umar isteri dari pengasuh Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang, KHA. Masduqi Machfudz.

Berikut ini saya cantumkan Daftar Isi E-book tersebut:
DAFTAR ISI

1. Betulkah pintu ijtihad sudah tertutup?

2. Mengapa Kitab madzhab Syafi’i menyebut ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum?
3. Mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal hanya tahu Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in
4. Adzan Jum'at dua kali tidak mengubah sunah Rasul?
5. Apakah beduk termasuk sunah?
6. Sunahkah tambahan Sayyidina dalam solawat?
7. Tarawih di zaman Umar bin Khattab menjadi dua puluh rakaat, bagaimanakah itu?
8. Bagaimana hukumnya tahlil?
9. Semua bid'ah sesat, mengapa ada bid'ah hasanah dan bid’ah sayyiah?
10. Islam tidak mengenal selamatan, mengapa tidak diberantas?
11. Mengapa orang yang memegang atau membawa Al-Qur’an harus berwudlu dahulu?
12. Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai dikubur?
13. Sebaiknya sholat hari raya dilaksanakan di masjid atau lapangan?
14. Apakah sah dan tidak bid'ah untuk mengucapkan niat shalat padahal mestinya niat dengan hati?
15. Bagaimana hukumnya baca Manaqib?

Anda bisa membacanya dengan cara download filenya terlebih dahulu pada link dibawah ini.
UNTUK MENDOWNLOADNYA SILAHKAN KLIK DISINI!!
atau disini :
http://www.box.net/shared/p1e3zci9n3
Size : 1,7 Mb


Akhirul Kalam, Semoga Ebook ini dapatlah bermanfaat bagi setiap teman-teman yang hajat membaca dan memahami, manfaat dunia dan manfaat di akhirat nanti. Dan akhirnya kami memohon ampun dan pertolongan kepada Allah Yang Maha Pengayang lagi Maha Pengampun. Kepada Allah Rabbul Izzati Wal Jabarut jualah, kami berserah dan bertawakal.

Ebook "Tanya Jawab dengan KH. Bisri Musthofa"

Posted by Admin


E-book ini saya buat dalam bentuk format exe, agar lebih memudahkan untuk dibaca bagi saudara-saudara yang ingin membaca.

Tanya jawab yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku "Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah". Buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf arab pego, kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang disampaikan KH. Bisri Mustofa di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember 1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali pengaburan makna ahlussunnah. KH. Bisri Mustofa adalah menantu dari KH. Cholil Harun Kasingan Rembang. KH. Cholil Harun sendiri adalah termasuk salah satu guru dari KH. Mahrus Ali Lirboyo dan KH. Aqiel Cirebon (orang tua dari KH. Said Aqiel Siroj, PBNU). KH. Bisri Mustofa sendiri adalah paman dan orang tua angkat dari Ibu Nyai Chasinah binti KH. Chamzawi Umar isteri dari pengasuh Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang, KHA. Masduqi Machfudz.

Berikut ini saya cantumkan Daftar Isi E-book tersebut:
DAFTAR ISI

1. Betulkah pintu ijtihad sudah tertutup?

2. Mengapa Kitab madzhab Syafi’i menyebut ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum?
3. Mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal hanya tahu Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in
4. Adzan Jum'at dua kali tidak mengubah sunah Rasul?
5. Apakah beduk termasuk sunah?
6. Sunahkah tambahan Sayyidina dalam solawat?
7. Tarawih di zaman Umar bin Khattab menjadi dua puluh rakaat, bagaimanakah itu?
8. Bagaimana hukumnya tahlil?
9. Semua bid'ah sesat, mengapa ada bid'ah hasanah dan bid’ah sayyiah?
10. Islam tidak mengenal selamatan, mengapa tidak diberantas?
11. Mengapa orang yang memegang atau membawa Al-Qur’an harus berwudlu dahulu?
12. Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai dikubur?
13. Sebaiknya sholat hari raya dilaksanakan di masjid atau lapangan?
14. Apakah sah dan tidak bid'ah untuk mengucapkan niat shalat padahal mestinya niat dengan hati?
15. Bagaimana hukumnya baca Manaqib?

Anda bisa membacanya dengan cara download filenya terlebih dahulu pada link dibawah ini.
UNTUK MENDOWNLOADNYA SILAHKAN KLIK DISINI!!
atau disini :
http://www.box.net/shared/p1e3zci9n3
Size : 1,7 Mb


Akhirul Kalam, Semoga Ebook ini dapatlah bermanfaat bagi setiap teman-teman yang hajat membaca dan memahami, manfaat dunia dan manfaat di akhirat nanti. Dan akhirnya kami memohon ampun dan pertolongan kepada Allah Yang Maha Pengayang lagi Maha Pengampun. Kepada Allah Rabbul Izzati Wal Jabarut jualah, kami berserah dan bertawakal.


Alhamdulillah selesai juga pembuatan ebook ini. Ebook yang membedah Ajaran Syi’ah dan Fatwa-Fatwa Ulama Besar mengenai aliran yang meresahkan ummat islam ini! Ditulis oleh seorang tokoh besar betawi Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan.

Terimakasih banyak saya ucapkan kepada Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaf yang telah memberikan buku versi cetaknya secara gratis. Saya melihat isi buku ini sangat penting, sangat bermutu, dan sangat bermanfaat apabila dibaca. Agar kita bisa membentengi diri kita dari merebaknya wabah virus Syi’ah yang semakin berkembang biak di dunia ini. Sepertinya buku ini sudah menjadi barang langka di toko-toko buku dan kitab, oleh karenanya demi syi’ar Islam maka saya ingin berbagi dengan anda dengan cara membuatkan Ebook ini agar anda pun dapat membacanya. Namun saya sarankan untuk membeli buku versi cetaknya.

Berikut Detail Bukunya:
Judul : Fatwa Isu Penting – Putusan Ulama Besar Indonesia
Judul Asli : Ar Ra’ah al-Ghamidhah fi-Naqdli Kalami ar-Rafidhah
Penulis : Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (alm.)
Penerjemah : Achmad Sunarto
Penerbit : Asy-Syifa Semarang
Cetakan pertama : Agustus 1997

Dapatkan ebooknya: Download di sini klik http://www.ziddu.com/download/10341559/FatwaIsuPenting.rar.html
Format PDF
Size 4,6 Mb

-------------------------------------------------------------------------------

SIAPAKAH kaum Rafidlah itu? Mereka adalah orang-orang yang mengklaim, bahwa diri mereka mencintai keluarga Rasulullah SAW. Pada hal kenyataannya tidaklah demikian. Mereka menganggap diri mereka mengikuti jalan pembesar keluarga Rasulullah SAW seperti Imam Hasan dan Imam Husain, ayah mereka Imam 'Ali, Ali bin al-Husain dan Zaid bin Ali ra.

Sementara mereka tidak mengakui keberadaan orang-orang seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu'awiyah, Amr bin al-'Ash, sehingga mereka selalu mencaci makinya.
Sebenarnya Rasulullah SAW telah memperingatkan dan mengabarkan akan kelahiran mereka di masa yang akan datang, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, Daruquthniy, adz-Dzahabi, al-Baghawiy, Thabraniy, Uqailiy, al-Hafidh al¬Qadhi Iyadh, yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, yang sebagian dari mereka adalah Imam Ali ra, Fatimah, Ummi Salamah, al-Hasan, Anas bin Malik, Jabir al-Anshariy, Ibnu Abbas, dan Iyadh al-Anshariy, di mana mereka semua mendengar dan meriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:

"Setelah kepergianku, kelak akan datang suatu kaum yang mcmpunyai julukan Rafidlah. Maka jika kalian menemukan, perangilah mereka, karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang mempersekutukan Tuhan. Ali ra berkata "Aku berkata "Wahai Rasulullah, apakah ciri-ciri mereka ? Beliau SAW bersabda "Mereka akan menyanjungmu dengan apa yg tidak ada padamu dan mereka akan mencela kepadamu ulama salaf"

Berikut Daftar Isi buku ini:

- Sekapur Sirih Habib Naufal bin Jindan (ahli waris)
1. Apa dan siapa kaum syi’ah rafidlah?
2. Kaum yahudi dan hadits terpecahnya ummat
3. Menyobek Kain dan Berdo’a Celaka
4. Ahlussunnah adalah Golongan Terbesar
5. Peringatan Allah agar tak bercerai-berai
6. Sikap menahan diri atas perselisihan antar sahabat

Waspadalah terhadap aliran Syi'ah!
Semoga Bermanfaat!



*) jika anda kesulitan utk download, silahkan tanya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1413704156

Ebook "FATWA ISU PENTING" (Habib Salim bin Jindan)

Posted by Admin


Alhamdulillah selesai juga pembuatan ebook ini. Ebook yang membedah Ajaran Syi’ah dan Fatwa-Fatwa Ulama Besar mengenai aliran yang meresahkan ummat islam ini! Ditulis oleh seorang tokoh besar betawi Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan.

Terimakasih banyak saya ucapkan kepada Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaf yang telah memberikan buku versi cetaknya secara gratis. Saya melihat isi buku ini sangat penting, sangat bermutu, dan sangat bermanfaat apabila dibaca. Agar kita bisa membentengi diri kita dari merebaknya wabah virus Syi’ah yang semakin berkembang biak di dunia ini. Sepertinya buku ini sudah menjadi barang langka di toko-toko buku dan kitab, oleh karenanya demi syi’ar Islam maka saya ingin berbagi dengan anda dengan cara membuatkan Ebook ini agar anda pun dapat membacanya. Namun saya sarankan untuk membeli buku versi cetaknya.

Berikut Detail Bukunya:
Judul : Fatwa Isu Penting – Putusan Ulama Besar Indonesia
Judul Asli : Ar Ra’ah al-Ghamidhah fi-Naqdli Kalami ar-Rafidhah
Penulis : Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (alm.)
Penerjemah : Achmad Sunarto
Penerbit : Asy-Syifa Semarang
Cetakan pertama : Agustus 1997

Dapatkan ebooknya: Download di sini klik http://www.ziddu.com/download/10341559/FatwaIsuPenting.rar.html
Format PDF
Size 4,6 Mb

-------------------------------------------------------------------------------

SIAPAKAH kaum Rafidlah itu? Mereka adalah orang-orang yang mengklaim, bahwa diri mereka mencintai keluarga Rasulullah SAW. Pada hal kenyataannya tidaklah demikian. Mereka menganggap diri mereka mengikuti jalan pembesar keluarga Rasulullah SAW seperti Imam Hasan dan Imam Husain, ayah mereka Imam 'Ali, Ali bin al-Husain dan Zaid bin Ali ra.

Sementara mereka tidak mengakui keberadaan orang-orang seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu'awiyah, Amr bin al-'Ash, sehingga mereka selalu mencaci makinya.
Sebenarnya Rasulullah SAW telah memperingatkan dan mengabarkan akan kelahiran mereka di masa yang akan datang, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, Daruquthniy, adz-Dzahabi, al-Baghawiy, Thabraniy, Uqailiy, al-Hafidh al¬Qadhi Iyadh, yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, yang sebagian dari mereka adalah Imam Ali ra, Fatimah, Ummi Salamah, al-Hasan, Anas bin Malik, Jabir al-Anshariy, Ibnu Abbas, dan Iyadh al-Anshariy, di mana mereka semua mendengar dan meriwayatkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:

"Setelah kepergianku, kelak akan datang suatu kaum yang mcmpunyai julukan Rafidlah. Maka jika kalian menemukan, perangilah mereka, karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang mempersekutukan Tuhan. Ali ra berkata "Aku berkata "Wahai Rasulullah, apakah ciri-ciri mereka ? Beliau SAW bersabda "Mereka akan menyanjungmu dengan apa yg tidak ada padamu dan mereka akan mencela kepadamu ulama salaf"

Berikut Daftar Isi buku ini:

- Sekapur Sirih Habib Naufal bin Jindan (ahli waris)
1. Apa dan siapa kaum syi’ah rafidlah?
2. Kaum yahudi dan hadits terpecahnya ummat
3. Menyobek Kain dan Berdo’a Celaka
4. Ahlussunnah adalah Golongan Terbesar
5. Peringatan Allah agar tak bercerai-berai
6. Sikap menahan diri atas perselisihan antar sahabat

Waspadalah terhadap aliran Syi'ah!
Semoga Bermanfaat!



*) jika anda kesulitan utk download, silahkan tanya saya http://www.facebook.com/profile.php?id=1413704156


Al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.
Wa ash-Shalât Wa As-Salâm ’Alâ Rasûlulillâh.

Bahwa kecenderungan timbulnya aqidah tasybîh (Penyerupaan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya) belakangan ini semakin merebak di berbagai level masyarakat kita. Sebab utamanya adalah karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu pokok agama, terutama masalah aqidah. Bencananya sangat besar, dan yang paling parah adalah adanya sebagian orang-orang Islam, baik yang dengan sadar atau tanpa sadar telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya. Imam al-Qâdlî Iyadl al-Maliki dalam asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut. Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas”, “Tuhan tertawa, tersenyum, menangis” atau “Mencari Tuhan yang hilang”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîh yang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan aqidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang. Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H) , dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî , meriwayatkan bahwa sahabat Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”.

Download E-book "ALLAH ADA TANPA TEMPAT - Mewaspadai Aqidah Wahabi"
DOWNLOAD DISINI

atau disini http://www.ziddu.com/download/10015139/ALLAHADATANPATEMPAT.exe.html

Ebook berisi kumpulan Catatan dari Notes Facebook Ust. Kholil Abou Fateh

atau bila tidak ingin mendownloadnya, bukalah ebook ini dalam versi online di website http://istawa.byethost3.com/

Berikut Daftar Isi Ebook tersebut:

LATAR BELAKANG
Bab I. Makna Istawa
1.1 Ayat -Ayat Mutasyabihat
1.2 Allah Ada Tanpa Tempat
1.3 Makna Fawq dan Al-Alyy dalam Tafsir Imam Al-Qurthubi Pada Hak Allah
1.4 Tidak Semua Makna Istawlâ atau Qahara Berindikasi Sabq al-Mughâlabah
1.5 Al-Qur’an Kalam Allah

Bab II. Para Imam dan Muhaddits Berkeyakinan Allah Ada Tanpa Tempat
2.1 Imam Malik Ibn Annas
2.2 Imam Abu Hanifah
2.3 Imam Syafi’i
2.4 Imam Ahmad Ibn Hanbal
2.5 Imam Bukhari
2.6 Imam Ghozali
2.7 Imam Fakhr Ar-Razi
2.8 Imam al-Bayyadli al-Hanafi
2.9 Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi
2.10 Imam Saifuddin Al-Amidi
2.11 Imam Murtadla az-Zabidi

Bab III. Kerancuan Faham Musyabbihah Wahabi
3.1 Allah Ada Di Langit Menurut Wahabi
3.2 Allah Tidak Dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah"
3.3 Bantahan Terhadap Kaum Musyabbihah Wahhabi
3.4 Menyelewengkan Makna Ayat dalam Firman Allah QS. al-Mulk: 16.
3.5 Menyelewengkan Makna QS. Thaha 5
3.6 Salah Faham Terhadap Makna QS. Al-Maidah : 44
3.7 Menyelewengkan Makna Hadits al-Jariyah
3.8 Kerancuan Aqidah Tasybih Menurut Imam Al-Hafidz Ibn Al-Jauzi
3.9 Berdusta Atas Nama Imam Abu Hanifah
3.10 Kaum Wahabi Sangat Apriori Terhadap Ilmu Kalam

Bab IV. Konsensus Ulama Ahlussunnah
4.1. Konsensus Para Sahabat dan Imam : “Allah Ada Tanpa Tempat”
4.2. Pernyataan Para Imam Muhaddits dan Ulama Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Bagi Allah
4.3. Aqidah Ulama Indonesia Allah Ada Tanpa Tempat
4.4. Pernyataan Para Ulama Tentang Kesesatan Akidah Hulul Dan Wahdah al-Wujud
4.5. Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl

Bab V. Penutup

RIWAYAT PENULIS
Iklan

Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan segala kekurangan yang terdapat dalam buku ini, penulis serahkan sepenuhnya kepada Allah. Segala kekurangan dan aib semoga Allah memperbaikinya, dan seluruh nilai-nilai yang baik dari buku ini semoga menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi seluruh orang Islam. Amin.
Wa Shallallâh Wa Sallam ‘Alâ Rasûlillâh.
Wa al-Hamd Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.

*) Catatan:
Ebook ini bukan Jiplakan dari Buku Ust. Kholil Abou Fateh yang berjudul Tafsir Istawa Studi Komprehensif Tafsir Istawa Allah ada tanpa tempat. Saya sendiri belum pernah membaca isi buku tersebut. Mohon maaf apabila terdapat kesamaan dengan buku.
Saya sangat merekomendasikan bagi anda untuk membeli Buku karya Ust. Kholil Abou Fateh yang berjudul Tafsir Istawa Studi Komprehensif Tafsir Istawa Allah ada tanpa tempat.
Lihat Spesifikasi Buku tersebut klik disini!!

Salam,,

(Luqman)
www.luqman.co.cc

Ebook "ALLAH ADA TANPA TEMPAT - Mewaspadai Aqidah Wahabi"

Posted by Admin


Al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.
Wa ash-Shalât Wa As-Salâm ’Alâ Rasûlulillâh.

Bahwa kecenderungan timbulnya aqidah tasybîh (Penyerupaan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya) belakangan ini semakin merebak di berbagai level masyarakat kita. Sebab utamanya adalah karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu pokok agama, terutama masalah aqidah. Bencananya sangat besar, dan yang paling parah adalah adanya sebagian orang-orang Islam, baik yang dengan sadar atau tanpa sadar telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya. Imam al-Qâdlî Iyadl al-Maliki dalam asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut. Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas”, “Tuhan tertawa, tersenyum, menangis” atau “Mencari Tuhan yang hilang”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîh yang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan aqidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang. Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H) , dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî , meriwayatkan bahwa sahabat Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”.

Download E-book "ALLAH ADA TANPA TEMPAT - Mewaspadai Aqidah Wahabi"
DOWNLOAD DISINI

atau disini http://www.ziddu.com/download/10015139/ALLAHADATANPATEMPAT.exe.html

Ebook berisi kumpulan Catatan dari Notes Facebook Ust. Kholil Abou Fateh

atau bila tidak ingin mendownloadnya, bukalah ebook ini dalam versi online di website http://istawa.byethost3.com/

Berikut Daftar Isi Ebook tersebut:

LATAR BELAKANG
Bab I. Makna Istawa
1.1 Ayat -Ayat Mutasyabihat
1.2 Allah Ada Tanpa Tempat
1.3 Makna Fawq dan Al-Alyy dalam Tafsir Imam Al-Qurthubi Pada Hak Allah
1.4 Tidak Semua Makna Istawlâ atau Qahara Berindikasi Sabq al-Mughâlabah
1.5 Al-Qur’an Kalam Allah

Bab II. Para Imam dan Muhaddits Berkeyakinan Allah Ada Tanpa Tempat
2.1 Imam Malik Ibn Annas
2.2 Imam Abu Hanifah
2.3 Imam Syafi’i
2.4 Imam Ahmad Ibn Hanbal
2.5 Imam Bukhari
2.6 Imam Ghozali
2.7 Imam Fakhr Ar-Razi
2.8 Imam al-Bayyadli al-Hanafi
2.9 Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi
2.10 Imam Saifuddin Al-Amidi
2.11 Imam Murtadla az-Zabidi

Bab III. Kerancuan Faham Musyabbihah Wahabi
3.1 Allah Ada Di Langit Menurut Wahabi
3.2 Allah Tidak Dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah"
3.3 Bantahan Terhadap Kaum Musyabbihah Wahhabi
3.4 Menyelewengkan Makna Ayat dalam Firman Allah QS. al-Mulk: 16.
3.5 Menyelewengkan Makna QS. Thaha 5
3.6 Salah Faham Terhadap Makna QS. Al-Maidah : 44
3.7 Menyelewengkan Makna Hadits al-Jariyah
3.8 Kerancuan Aqidah Tasybih Menurut Imam Al-Hafidz Ibn Al-Jauzi
3.9 Berdusta Atas Nama Imam Abu Hanifah
3.10 Kaum Wahabi Sangat Apriori Terhadap Ilmu Kalam

Bab IV. Konsensus Ulama Ahlussunnah
4.1. Konsensus Para Sahabat dan Imam : “Allah Ada Tanpa Tempat”
4.2. Pernyataan Para Imam Muhaddits dan Ulama Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Bagi Allah
4.3. Aqidah Ulama Indonesia Allah Ada Tanpa Tempat
4.4. Pernyataan Para Ulama Tentang Kesesatan Akidah Hulul Dan Wahdah al-Wujud
4.5. Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl

Bab V. Penutup

RIWAYAT PENULIS
Iklan

Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan segala kekurangan yang terdapat dalam buku ini, penulis serahkan sepenuhnya kepada Allah. Segala kekurangan dan aib semoga Allah memperbaikinya, dan seluruh nilai-nilai yang baik dari buku ini semoga menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi seluruh orang Islam. Amin.
Wa Shallallâh Wa Sallam ‘Alâ Rasûlillâh.
Wa al-Hamd Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.

*) Catatan:
Ebook ini bukan Jiplakan dari Buku Ust. Kholil Abou Fateh yang berjudul Tafsir Istawa Studi Komprehensif Tafsir Istawa Allah ada tanpa tempat. Saya sendiri belum pernah membaca isi buku tersebut. Mohon maaf apabila terdapat kesamaan dengan buku.
Saya sangat merekomendasikan bagi anda untuk membeli Buku karya Ust. Kholil Abou Fateh yang berjudul Tafsir Istawa Studi Komprehensif Tafsir Istawa Allah ada tanpa tempat.
Lihat Spesifikasi Buku tersebut klik disini!!

Salam,,

(Luqman)
www.luqman.co.cc


MEMULIAKAN DAN MENGAGUNGKAN RASULULLAH SAW Ketika kita mengucapkan sebutan sayyidina untuk memuliakan Rasulullah SAW, Ketika kita membaca qasidah sholawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad , Ketika kita menghadiri pembacaan Maulid Nabi saw dan berdiri mahallul qiyam kesemuanya itu dianggap mengkultuskan nabi muhammad saw!! (Jangan-jangan ketika kita mengidolakan Nabi Muhammad saw dan merindukan beliau saw kita dapat anggapan mengkultuskan nabi juga? ) :P

MEMULIAKAN DAN MENGAGUNGKAN ULAMA SHOLIHIN

Ketika kita memajang foto ulama kita di rumah dan ketika kita mencium tangan ulama sholihin serta ketika menziarahi para ulama-ulama sholihin yg telah mendahului kita maka kesemuanya itu dianggap lagi oleh kaum wahabiyyun dengan tuduhan mengkultuskan ulama.


Sebenarnya apa itu KULTUS sih???????? (Kuliah Tujuh ratus menit kah? Bukan!)

Kultus adalah menuhankan, tentunya itu adalah untuk Isa as yg dituhankan oleh Nasrani, dan Uzair yg dituhankan Yahudi, atau yg disembah sebagai tuhan selain Allah, Namun mereka menjatuhkan istilah itu pada aswaja karena memuliakan Rasul saw dan memuliakan Ulama, tentunya itu bukan pada tempatnya,


Sifat penentangan dan penuduhan dan kebencian atas orang orang yg mengagungkan ulama, adalah sifat warisan Iblis, sebagaimana Iblis adalah ahlussujud, beribu tahun ia tak menyekutukan Allah swt, namun Iblis tak mau memuliakan orang yg dimuliakan Allah, padahal jika Iblis disuruh sujud pada Allah maka ia pasti taat pada Allah swt,

namun Iblis tak mau memuliakan orang yg mulia, ia tak mau sujud pada makhluk, ia tak merasa sama dengan Adam as bahkan lebih mulia, ia tak mau memandang bahwa Adam as ini walau dicipta dari tanah namun ia dimuliakan Allah swt,
Dan Adam as dimuliakan Allah dengan ilmu yg melebihi Iblis dan para malaikat, sebagaimana firman Nya swt : “Dan Allah mengajari Adam akan nama nama (nama nama ciptaan Nya swt) kesemuanya, lalu Allah menunjukkan itu semua kepada para malaikat dan berkata : Kabarkan pada Ku nama nama ini semua?, mereka (malaikat) menjawab : Maha suci engkau, kami tak memiliki ilmu kecuali yg Kau ajarkan, sungguh Engkau Maha Mengetahui dan Maha Menghakimi, maka Allah swt berkata pada Adam (as) : Wahai Adam, kabarkan pada mereka (para malaikat) tentang nama nama itu…dst “ (QS Al Baqarah 30-33).

Demikianlah sifat Iblis, dan sifat ini terwariskan dan tertitiskan pada wahabi, mereka menentang memuliakan Rasul saw dan ulama, padahal para sahabat sangat mengagungkan Rasul saw, mereka berebutan air bekas wudhu Rasulullah saw dan mengusapkannya kewajah dan tangannya (Shahih Bukhari), mereka juga berebutan Rambut Rasulullah saw (Shahih Bukhari) dan banyak lagi tentang pengagungan para sahabat pada Nabi saw.


Iblis tak diam, ia terus mencari orang orang yg akan dititisi sifat sifatnya sebagaimana ketika datang seseorang dari Najd yg tidak sopan pada nabi saw dan ketika Nabi saw membagi bagi kepada sebagian dari mereka maka orang itu berkata : "Bertakwalah pada Allah wahai Muhammad!", (maksudnya adalah : kau harus adil dalam pembagian ini!), maka Rasul saw menjawab dg marah : "siapa yg taat pada Allah kalau aku bermaksiat pada Allah..?!", lalu orang itu hampir dibunuh, lalu Rasul saw melarangnya, dan Rasul saw berkata : "akan keluar dari keturunan orang ini orang orang yg membaca Alqur'an dan tidak melebihi tenggorokannya, mereka semakin jauh dari agama bagaikan panah menjauh dari busurnya, mereka memusuhi orang islam dan membiarkan para penyembah berhala, bila kujumpai mereka maka akan kuperangi mereka sebagaimana diperanginya kaum 'Aad". (Shahih Bukhari)

Inilah yg diwanti wanti oleh Rasul saw, sifat iblis yg tak menghormati para nabi, muncul pada orang Najdi itu, yg kemudian Rasul saw berkata dari keturunan orang itu akan munculnya wahabi ini, mereka memerangi orang muslim, dan mereka tak memerangi orang yg menyembah berhala,

Orang wahabi terus memerangi orang muslim, yg sholat, puasa, zakat, haji dll, mereka dianggap musyrik hanya karena memajang foto orang shalih, padahal mereka sama sekali tak menyembahnya, atau berziarah kubur yg itu jelas jelas sunnah, namun dikatakan Musyrik,


Sepanjang adanya foto orang shalih di ummat ini yg memajangnya adakah yg menganggapnya tuhan?, lalu ada apa dengan penuduhan musyrik ini?,
Ummat ummat terdahulu menyembah patung, lalu muslimin sujud pula pada ka'bah, bukankah kabah itu batu?, kenapa sujud padanya?, Lalu mengapa malaikat diperintah sujud pada makhluk?, dalam peristiwa ini menurut versi pemikiran wahabi, maka yg tauhidnya suci hanyalah Iblis, karena hanya Iblis yg tak mau sujud pada makhluk, dan para malaikat itu semuanya musyrik, karena sujud pada makhluk.

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra bila datang dari perjalanan dan tiba di Madinah maka ia segera masuk masjid dan mendatangi Kubur Nabi saw seraya berucap :
Assalamualaika Yaa Rasulallah, Assalamualaika Yaa Ababakar, Assalamualaika Ya Abataah (wahai ayahku)”. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.10051)
Berkata Abdullah bin Dinar ra : Kulihat Abdullah bin Umar ra berdiri di kubur Nabi saw dan bersalam pada Nabi saw lalu berdoa, lalu bersalam pada Abubakar dan Umar ra” (Sunan Imam Baihaqiy ALkubra hadits no.10052).

Mereka tak mau memuliakan Rasul saw, duianggapnya Rasul saw sama saja dg mereka, bisa salah, mesti ditegur, dan tak beradab pada Rasul saw, padahal Allah swt telah berfirman : "wahai orang orang yg beriman, jangan kalian mengeraskan suara dihadapan Nabi saw sebagaimana kalian saling mengeraskan suara satu sama lain, akan jatuh (terhapus) pahala kalian tanpa kalian sadari"(Qs Alhujurat 2).


jangankan menyalahkan, bahkan mengeraskan suarapun sampai sedemikian kerasnya ancaman Allah swt.
Rasul saw bersabda : "Aku tak takut kemusyrikan menimpa kalian, yg kutakutkan adalah keluasan dunia yg menimpa kalian (sebagaimana Saudi Arabia dan Negara wahabi lainnya) (Shahih Bukhari).

Jelaslah sudah bahwa Rasul saw telah menjawab seluruh fitnah mereka, bahwa Rasul saw tak merisaukan syirik akan menimpa ummatnya, hanya Iblis saja yg tak rela muslimin memuliakan ulama, Iblis ingin muslimin ini sama sama dengannya, tak memuliakan siapapun selain Allah swt, namun justru tempat mereka adalah kekal di neraka.

Semoga bermanfaat.


Dikutip dari situs Majelis Rasulullah SAW dengan perubahan seperlunya.
(www.luqman.co.cc)

Mengagungkan Bukan Mengkultuskan

Posted by Admin


MEMULIAKAN DAN MENGAGUNGKAN RASULULLAH SAW Ketika kita mengucapkan sebutan sayyidina untuk memuliakan Rasulullah SAW, Ketika kita membaca qasidah sholawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad , Ketika kita menghadiri pembacaan Maulid Nabi saw dan berdiri mahallul qiyam kesemuanya itu dianggap mengkultuskan nabi muhammad saw!! (Jangan-jangan ketika kita mengidolakan Nabi Muhammad saw dan merindukan beliau saw kita dapat anggapan mengkultuskan nabi juga? ) :P

MEMULIAKAN DAN MENGAGUNGKAN ULAMA SHOLIHIN

Ketika kita memajang foto ulama kita di rumah dan ketika kita mencium tangan ulama sholihin serta ketika menziarahi para ulama-ulama sholihin yg telah mendahului kita maka kesemuanya itu dianggap lagi oleh kaum wahabiyyun dengan tuduhan mengkultuskan ulama.


Sebenarnya apa itu KULTUS sih???????? (Kuliah Tujuh ratus menit kah? Bukan!)

Kultus adalah menuhankan, tentunya itu adalah untuk Isa as yg dituhankan oleh Nasrani, dan Uzair yg dituhankan Yahudi, atau yg disembah sebagai tuhan selain Allah, Namun mereka menjatuhkan istilah itu pada aswaja karena memuliakan Rasul saw dan memuliakan Ulama, tentunya itu bukan pada tempatnya,


Sifat penentangan dan penuduhan dan kebencian atas orang orang yg mengagungkan ulama, adalah sifat warisan Iblis, sebagaimana Iblis adalah ahlussujud, beribu tahun ia tak menyekutukan Allah swt, namun Iblis tak mau memuliakan orang yg dimuliakan Allah, padahal jika Iblis disuruh sujud pada Allah maka ia pasti taat pada Allah swt,

namun Iblis tak mau memuliakan orang yg mulia, ia tak mau sujud pada makhluk, ia tak merasa sama dengan Adam as bahkan lebih mulia, ia tak mau memandang bahwa Adam as ini walau dicipta dari tanah namun ia dimuliakan Allah swt,
Dan Adam as dimuliakan Allah dengan ilmu yg melebihi Iblis dan para malaikat, sebagaimana firman Nya swt : “Dan Allah mengajari Adam akan nama nama (nama nama ciptaan Nya swt) kesemuanya, lalu Allah menunjukkan itu semua kepada para malaikat dan berkata : Kabarkan pada Ku nama nama ini semua?, mereka (malaikat) menjawab : Maha suci engkau, kami tak memiliki ilmu kecuali yg Kau ajarkan, sungguh Engkau Maha Mengetahui dan Maha Menghakimi, maka Allah swt berkata pada Adam (as) : Wahai Adam, kabarkan pada mereka (para malaikat) tentang nama nama itu…dst “ (QS Al Baqarah 30-33).

Demikianlah sifat Iblis, dan sifat ini terwariskan dan tertitiskan pada wahabi, mereka menentang memuliakan Rasul saw dan ulama, padahal para sahabat sangat mengagungkan Rasul saw, mereka berebutan air bekas wudhu Rasulullah saw dan mengusapkannya kewajah dan tangannya (Shahih Bukhari), mereka juga berebutan Rambut Rasulullah saw (Shahih Bukhari) dan banyak lagi tentang pengagungan para sahabat pada Nabi saw.


Iblis tak diam, ia terus mencari orang orang yg akan dititisi sifat sifatnya sebagaimana ketika datang seseorang dari Najd yg tidak sopan pada nabi saw dan ketika Nabi saw membagi bagi kepada sebagian dari mereka maka orang itu berkata : "Bertakwalah pada Allah wahai Muhammad!", (maksudnya adalah : kau harus adil dalam pembagian ini!), maka Rasul saw menjawab dg marah : "siapa yg taat pada Allah kalau aku bermaksiat pada Allah..?!", lalu orang itu hampir dibunuh, lalu Rasul saw melarangnya, dan Rasul saw berkata : "akan keluar dari keturunan orang ini orang orang yg membaca Alqur'an dan tidak melebihi tenggorokannya, mereka semakin jauh dari agama bagaikan panah menjauh dari busurnya, mereka memusuhi orang islam dan membiarkan para penyembah berhala, bila kujumpai mereka maka akan kuperangi mereka sebagaimana diperanginya kaum 'Aad". (Shahih Bukhari)

Inilah yg diwanti wanti oleh Rasul saw, sifat iblis yg tak menghormati para nabi, muncul pada orang Najdi itu, yg kemudian Rasul saw berkata dari keturunan orang itu akan munculnya wahabi ini, mereka memerangi orang muslim, dan mereka tak memerangi orang yg menyembah berhala,

Orang wahabi terus memerangi orang muslim, yg sholat, puasa, zakat, haji dll, mereka dianggap musyrik hanya karena memajang foto orang shalih, padahal mereka sama sekali tak menyembahnya, atau berziarah kubur yg itu jelas jelas sunnah, namun dikatakan Musyrik,


Sepanjang adanya foto orang shalih di ummat ini yg memajangnya adakah yg menganggapnya tuhan?, lalu ada apa dengan penuduhan musyrik ini?,
Ummat ummat terdahulu menyembah patung, lalu muslimin sujud pula pada ka'bah, bukankah kabah itu batu?, kenapa sujud padanya?, Lalu mengapa malaikat diperintah sujud pada makhluk?, dalam peristiwa ini menurut versi pemikiran wahabi, maka yg tauhidnya suci hanyalah Iblis, karena hanya Iblis yg tak mau sujud pada makhluk, dan para malaikat itu semuanya musyrik, karena sujud pada makhluk.

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra bila datang dari perjalanan dan tiba di Madinah maka ia segera masuk masjid dan mendatangi Kubur Nabi saw seraya berucap :
Assalamualaika Yaa Rasulallah, Assalamualaika Yaa Ababakar, Assalamualaika Ya Abataah (wahai ayahku)”. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.10051)
Berkata Abdullah bin Dinar ra : Kulihat Abdullah bin Umar ra berdiri di kubur Nabi saw dan bersalam pada Nabi saw lalu berdoa, lalu bersalam pada Abubakar dan Umar ra” (Sunan Imam Baihaqiy ALkubra hadits no.10052).

Mereka tak mau memuliakan Rasul saw, duianggapnya Rasul saw sama saja dg mereka, bisa salah, mesti ditegur, dan tak beradab pada Rasul saw, padahal Allah swt telah berfirman : "wahai orang orang yg beriman, jangan kalian mengeraskan suara dihadapan Nabi saw sebagaimana kalian saling mengeraskan suara satu sama lain, akan jatuh (terhapus) pahala kalian tanpa kalian sadari"(Qs Alhujurat 2).


jangankan menyalahkan, bahkan mengeraskan suarapun sampai sedemikian kerasnya ancaman Allah swt.
Rasul saw bersabda : "Aku tak takut kemusyrikan menimpa kalian, yg kutakutkan adalah keluasan dunia yg menimpa kalian (sebagaimana Saudi Arabia dan Negara wahabi lainnya) (Shahih Bukhari).

Jelaslah sudah bahwa Rasul saw telah menjawab seluruh fitnah mereka, bahwa Rasul saw tak merisaukan syirik akan menimpa ummatnya, hanya Iblis saja yg tak rela muslimin memuliakan ulama, Iblis ingin muslimin ini sama sama dengannya, tak memuliakan siapapun selain Allah swt, namun justru tempat mereka adalah kekal di neraka.

Semoga bermanfaat.


Dikutip dari situs Majelis Rasulullah SAW dengan perubahan seperlunya.
(www.luqman.co.cc)

- Islam Agama Yang Haq
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Islam_Deenul_Anbiya2.pdf

- KADO MUHAMMAD shallallahu 'alayhi wasallam
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Mawlid-001.pdf

- AN-NAHJ ASSAWIYY
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Nahj_Al-Sawi.pdf

- Memperingati Isra' Mi'raj
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Isra_wal_Mi%5Eraj.pdf

- MEWASPADAI BAHAYA GOLONGAN SESAT
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/02-Tahtheer_Firaq_el-3.pdf

- RISALAH PERINGATAN TENTANG GOLONGAN - GOLONGAN SESAT http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/01-Tahtheer_Firaq_el-3.pdf

- Malam Nishfu Sya'ban
http://darulfatwa.org.au/content/view/1354/153/

- ILMU, HARTA DAN KEHIDUPAN DUNIA
http://www.darulfatwa.org.au/Pdfs/Indonesian/%5EIl_Al-Deen.pdf

- Petik Hikmahnya
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/%5EAm_Al-Feel.pdf

- Setiap Pemimpin akan ditanya tentang Ra'iyyah -nya
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Tarbiyat_Al-Mawlid.pdf

- AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Rad_Ala_Ibn-Taymiyah.pdf

- Mukhtashar 'Abdillah al Harari al Kafil bi 'Ilmad-Din ad-Dlaruri (Ringkasan 'Abdullah al Harari yang memuat ilmu agama yang pokok)
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Mukhtassar_Al-Harari.pdf

- AQIDAH AHLUSSUNAH WALJAMAAH
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Kitab_Al-%5EAqidah_print3.pdf

- GOLONGAN YANG SELAMAT (al Firqah an-Najiyah)
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-firqah_Al-Najiyah.pdf

- PERKARA WAJIB LEBIH BAIK DARI PERKARA SUNNAH
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Wajib_muqadam_ala_Sunnah.pdf

- BAHAYA HIZBUT TAHRIR
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Tahtheer_Min_Hizbul_Ikhwan.pdf

- MEWASPADAI AJARAN-AJARAN SESAT DI LUAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH (Jilid I) http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Tahtheer_Al-Shar%5Ey.pdf

Kumpulan E-book Islami Gratis

Posted by Admin

- Islam Agama Yang Haq
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Islam_Deenul_Anbiya2.pdf

- KADO MUHAMMAD shallallahu 'alayhi wasallam
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Mawlid-001.pdf

- AN-NAHJ ASSAWIYY
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Nahj_Al-Sawi.pdf

- Memperingati Isra' Mi'raj
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Isra_wal_Mi%5Eraj.pdf

- MEWASPADAI BAHAYA GOLONGAN SESAT
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/02-Tahtheer_Firaq_el-3.pdf

- RISALAH PERINGATAN TENTANG GOLONGAN - GOLONGAN SESAT http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/01-Tahtheer_Firaq_el-3.pdf

- Malam Nishfu Sya'ban
http://darulfatwa.org.au/content/view/1354/153/

- ILMU, HARTA DAN KEHIDUPAN DUNIA
http://www.darulfatwa.org.au/Pdfs/Indonesian/%5EIl_Al-Deen.pdf

- Petik Hikmahnya
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/%5EAm_Al-Feel.pdf

- Setiap Pemimpin akan ditanya tentang Ra'iyyah -nya
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Tarbiyat_Al-Mawlid.pdf

- AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Rad_Ala_Ibn-Taymiyah.pdf

- Mukhtashar 'Abdillah al Harari al Kafil bi 'Ilmad-Din ad-Dlaruri (Ringkasan 'Abdullah al Harari yang memuat ilmu agama yang pokok)
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Mukhtassar_Al-Harari.pdf

- AQIDAH AHLUSSUNAH WALJAMAAH
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Kitab_Al-%5EAqidah_print3.pdf

- GOLONGAN YANG SELAMAT (al Firqah an-Najiyah)
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-firqah_Al-Najiyah.pdf

- PERKARA WAJIB LEBIH BAIK DARI PERKARA SUNNAH
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Wajib_muqadam_ala_Sunnah.pdf

- BAHAYA HIZBUT TAHRIR
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Tahtheer_Min_Hizbul_Ikhwan.pdf

- MEWASPADAI AJARAN-AJARAN SESAT DI LUAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH (Jilid I) http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Tahtheer_Al-Shar%5Ey.pdf

Bismillâhirrahmânirrahîm

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى

HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah

قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر

Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-

لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى

Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-


Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).


Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.


Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.


Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah



Al-Ibânan ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.

Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.
Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?

Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî



Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;

1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Dar Anshar


Maktabah Mu'ayyad



Dar Kutub


-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.105 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.97; استواءً يليق به من غير طول الاستقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.


Dar Anshar

Maktabah Mu'ayyad


Dar Kutub


-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100; استواءً منزها عن الحلول والاتحاد tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl. Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.

Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ. الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع, begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13, hal.461.

Dar Anshar

Maktabah Mu'ayyad

Dar Kutub

-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut. Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu‘aththilah.

Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî, Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî, al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.


Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.

Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.


Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?

Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb



1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;
Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.


2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;
Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.

Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.


3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;
Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.

Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.


Al-Nuqath al-Muhimmah (poin-poin penting)

1. Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
2. Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
3. Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
4. Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
5. Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
6. Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
7. Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
8. Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
9. Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
10. Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.

Allâhu A‘lam bi al-Shawwâb, Bârakakumullâh wa Iyyâya, Âmîn Yâ Rabb...
---------------------

Daftar Pustaka

• Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
• Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
• Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
• Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
• Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
• Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
• Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
• Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
• Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.

------------------------
*Zul ‘Ashfi Abû Zukhrûf ibn Sayyidî al-Minangkabawî, 5-6 Rajab 1431 H / 17-18 Juni 2010, “kamar pojok” asrama Darussunnah High Institute for Hadith Sciences, Ciputat.


(source : Catatan 'Ashfi Abu Zukhruf )

Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hasan Al-Asy'ariy

Posted by Admin

Bismillâhirrahmânirrahîm

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى

HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah

قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر

Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-

لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى

Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-


Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).


Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.


Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.


Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah



Al-Ibânan ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.

Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.
Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?

Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî



Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;

1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Dar Anshar


Maktabah Mu'ayyad



Dar Kutub


-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.105 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.97; استواءً يليق به من غير طول الاستقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.


Dar Anshar

Maktabah Mu'ayyad


Dar Kutub


-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100; استواءً منزها عن الحلول والاتحاد tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl. Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.

Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ. الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع, begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13, hal.461.

Dar Anshar

Maktabah Mu'ayyad

Dar Kutub

-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut. Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu‘aththilah.

Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî, Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî, al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.


Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.

Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.


Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?

Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb



1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;
Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.


2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;
Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.

Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.


3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;
Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.

Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.


Al-Nuqath al-Muhimmah (poin-poin penting)

1. Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
2. Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
3. Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
4. Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
5. Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
6. Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
7. Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
8. Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
9. Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
10. Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.

Allâhu A‘lam bi al-Shawwâb, Bârakakumullâh wa Iyyâya, Âmîn Yâ Rabb...
---------------------

Daftar Pustaka

• Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
• Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
• Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
• Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
• Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
• Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
• Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
• Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
• Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.

------------------------
*Zul ‘Ashfi Abû Zukhrûf ibn Sayyidî al-Minangkabawî, 5-6 Rajab 1431 H / 17-18 Juni 2010, “kamar pojok” asrama Darussunnah High Institute for Hadith Sciences, Ciputat.


(source : Catatan 'Ashfi Abu Zukhruf )



• KAMIS - 17 JUNI 2010 –
TIBA JAKARTA & SELEPAS ISYAK TERUS KE MAJELIS RASULULLAH (PIMPINAN AL-HABIB MUNZIR BIN FUAD ALMUSAWA ) DI LAPANGAN MONAS, JAKARTA MULAI 21.00

• JUM’AT 18 JUN 2010 –
LAMPUNG (MULTAQO ULAMA)

• 19 - 20 JUN 2010 –
MEDAN (MULTAQO ULAMA)

• 21 - 22 JUN 2010 –
PALU (MULTAQO ULAMA)

• 23 - 24 JUN 2010 –
LOMBOK (MULTAQO ULAMA)

• 25 JUN 2010 - PASURUAN (MAJLIS TERTUTUP)

• 26 JUN 2010 - SURABAYA (MAJLIS TERTUTUP)

• 27 - 29 JUN - JAKARTA (MAJLIS TERTUTUP RABITOH ALAWIYAH DLL)

• 29 JUN - PULANG KE TARIM , YAMAN.

* MULTAQO DI MALANG : DI BATALKAN

Jadwal Rihlah Dakwah Habib Umar bin Hafidz di Indonesia Juni 2010

Posted by Admin



• KAMIS - 17 JUNI 2010 –
TIBA JAKARTA & SELEPAS ISYAK TERUS KE MAJELIS RASULULLAH (PIMPINAN AL-HABIB MUNZIR BIN FUAD ALMUSAWA ) DI LAPANGAN MONAS, JAKARTA MULAI 21.00

• JUM’AT 18 JUN 2010 –
LAMPUNG (MULTAQO ULAMA)

• 19 - 20 JUN 2010 –
MEDAN (MULTAQO ULAMA)

• 21 - 22 JUN 2010 –
PALU (MULTAQO ULAMA)

• 23 - 24 JUN 2010 –
LOMBOK (MULTAQO ULAMA)

• 25 JUN 2010 - PASURUAN (MAJLIS TERTUTUP)

• 26 JUN 2010 - SURABAYA (MAJLIS TERTUTUP)

• 27 - 29 JUN - JAKARTA (MAJLIS TERTUTUP RABITOH ALAWIYAH DLL)

• 29 JUN - PULANG KE TARIM , YAMAN.

* MULTAQO DI MALANG : DI BATALKAN

Latest Tweets

Visitor

Labels

Pages

Random Post

BUKU TAMU

Two col-left

Software

Followers

What they says

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified
Copyright © 2013 Wong Tegal. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top