What's New Here?



Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, Tegal, adalah salah satu ulama dan tokoh besar yang dimiliki Indonesia, khususnya kota Tegal, Jawa Tengah. Setiap tokoh atau ulama yang berkunjung ke Indonesia biasanya selalu menyempatkan diri mengunjunginya. Demikian juga Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Daarul Musthafa, Tarim Hadhramaut.

Namun demikian, beliau ibarat cemaran yang pucuknya tampak dari jauh tapi yang berada dibawahnya tidak melihatnya, artinya Nama Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff memang dikenal oleh banyak kalangan sampai mancanegara, tapi orang-orang di daerah sekitarnya sering tidak mengenal kealiman dan ketokohannya.

Habib Abdullah Al-kaff memang terkenal karena sikap tawadhu’nya. Ia tidak ingin menonjol, dan takut menjadi orang terkenal, sehingga dalam bersikap sangatlah hati-hati, dalam hidupnya hampir tidak punya musuh.

Masa kecilnya
Habib Abdullah Al-Kaff lahir di Cirebon (Jawa Barat) pada tanggal 27 Ramadhan 1340 H, bertepatan dengan 17 Mei 1922. Ayah beliau bernama Ahmad bin Abdullah Al-Kaff dimana ia mempunyai beberapa isteri. Dari Isteri pertamanya ia mendapatkan seorang anak bernama Abdurrahman. Dari Isteri kedua, ia mendapatkan tiga anak laki-laki yaitu Husein, Muhammad, dan Abdullah (Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, yang jadi pembahasan kali ini). Dari isteri ketiga, anaknya banyak juga, tapi yang laki-laki hanya satu, yaitu Umar. Sedangkan dari isteri keempat, ia mempunyai enam anak laki-laki.

Semua saudara Habib Abdullah Al-Kaff disekolahkan di Arab Saudi dan Yaman. Habib Abdullah Al-Kaff sendiri pada usia 11 dibawa oleh ayahnya ke Hadhramaut, tepatnya di Tarim. Selama enam tahun ia dititipkan pada kakeknya di kota Hajrain. Sebuah kota di kaki gunung yang banyak dihuni para wali mastur.

Pada umur 17 Tahun, beliau belajar di Rubath Tarim kepada Habib Umar Asy-Syathiri, yang sudah sepuh. Setelah Habib Umar Asy-Syathiri meninggal, ia melanjutkan belajarnya kepada Habib Abdullah As-Syathiri , anak Habib Umar Asy-Syathiri. Sepeninggal Habib Abdullah Asy-Syathiri, Rubath Tarim kini diasuh oleh Habib Salim Asy-Syathiri.

Habib Abdullah Al-Kaff sekelas dengan Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar. Gurunya waktu termasuk juga Habib Ali bin Abdullah bin Syihab.

Beliau mengambil kekhususan pada bidang fiqih. Tapi ia juga sangat menggandrungi sastra sehingga banyak tulisannya berbentuk syair.

Dewasa di Tegal
Pada usia 25 Tahun, Habib Abdullah kembali ke kota TEGAL, JAWA TENGAH. Kemudian ia menikah dan sehari-hari sebagai pedagang sarung tenun. Selain berdagang, ia juga menyisakan waktunya untuk mendidik anak-anaknya dan juga mengisi majelis taklim.

Habib Abdullah Al-Kaff bermukim di Kota Tegal. Sering ketika ada tamu yang berkunjugn ke Tegal, walau tamu itu bukan tamunya namun Habib Abdullah Al-Kaff merasa berkewajiban untuk menjamunya. Penghormatannya kepada tamu sungguh luar biasa. Kalau tamu itu tidak sempat dijamu hari itu, besoknya dipanggil untuk sarapan. Yang lebih mengherankan, kalau ada tamu, selalu saja ada kambing sebagai masakannya. Beliau pernah bilang, “Setiap manusia ada rizkinya, dan itu tidak akan pernah tertukar. Tidak mungkin kita memakan rizki orang karena sudah diatur oleh Allah SWT.”.

Beberapa tahun ia pernah tinggal di Condet, Jakarta. Karena keulamaannya, Habib Umar bin Hafidz, pengasuh Daarul Musthafa Tarim, menyempatkan diri untuk mengunjunginya di Condet, Jakarta guna meminta doa restu darinya.

Mendidik anak-anak
Habib Abdullah Al-Kaff termasuk tokoh habib yang sangat sukses dalam mendidik anak-ananya. Hampir semua putranya adalah ulama, pendidik, pendakwah yang istiqomah. Siapakah yang tidak kenal Habib Thohir Al-Kaff, Habib Ahmad Al-Kaff (Pengasuh PP Hikmatun Nur Jakarta), Habib Hamid, Habib Ali, dan Habib Muhammad Al-Kaff??.

Habib Abdullah Al-Kaff berharap semua anaknya bisa menjadi ulama. Salah seorang anaknya, Habib Muhammad dikirim ke Arab Saudi, Habib Muthahar dimasukkan di Pesantren Darul Hadits Malang, Habib Murtadha dikirim ke Arab Saudi, lalu ke Yaman, Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dan Habib Hamid Al-Kaff dikirim ke Makkah untuk berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki dan belajar disana selama tujuh tahun, sedangkan Habib Ahmad Al-Kaff belajar di Mesir sehingga meraih gelar Doktor disana, demikian juga si bungsu Habib Ali yang juga dikirim ke Mesir.

Walau demikian Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff tetap berikhtiar dalam membina anak-anaknya supaya menjadi alim, anak yang berilmu, dengan harapan kelak akan menjadi ulama. Apa yang dilakukannya adalah meneladani Rasulullah SAW yaitu mendidik anak-anaknya dengan tarbiyah dan uswatun hasanah (teladan baik) atas apa yang diajarkannya.

Setiap hari, Beliau mengumandangkan adzan di rumahnya, Jalan Duku Kota Tegal, Jawa Tengah. Mendengar adzan itu, anak-anaknya ikut bangun dan langsung mengambil wudhu. Satu keluarga itu kemudian shala Shubuh berjamaah. Usai shalat berjamaah, ia memberikan nasihat agama kepada anak-anak, hingga hari mulai terang.

Kebiasaan Habib Abdullah Al-Kaff yang tidak pernah hilang adalah mencium tangan orang yang bersalaman dengannya, walau itu anak kecil sekalipun. Nah, orang yang tahu maqam Habib Abdullah jadi saling mencium.

Soal Kesabaran, Beliau sangat luar biasa. Ketika mendapat ujian sakit yang cukup lama, sembilan tahun, tidak pernah sekalipun ia mengeluh.

Berpulang ke Rahmatullah..
Kota Tegal saat itu berkabung kehilangan salah satu tokoh ulama besar yang dimilikinya. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad 7 September 2008 bertepatan pada 7 Ramadhan 1429 H, pukul 04.00 di Condet, Jakarta Timur setelah dirawat dua hari di Rumah Sakit Haji Pondok Gede Jenazah sang ulama, Al-Maghfurlah Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, dimakamkan di pemakaman Al-Haddad, kota TEGAL, pada sore harinya.

Harapan dan Cita-Cita
Ada satu harapan Habib Abdullah yaitu mendirikan sebuah pesantren di Tegal. Ia berharap anak-anaknya dapat mewujudkan cita-cita itu. Kini rumah di Jalan Duku kota TEGAL yang ditinggalkannya menjadi kantor dan embrio berdirinya pesantren tersebut. “Insya Allah saya dan saudara-saudara yang lain akan mewujudkan harapan Abah,” kata Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff yang meski bertempat tinggal di Pekalongan, namun lebih banyak berkiprah dakwah di Kota Tegal.

SEMOGA ALLAH SWT MENEMPATKAN ALMARHUM PADA TEMPAT YANG TERBAIK DI SISI-NYA. AMIIN.

Disarikan dari berbagai sumber, diantaranya Majalah Alkisah No.21/Tahun VI/2008 dan No. 10/Tahun VII/2009 dengan berbagai perubahan.

Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff

Posted by Admin



Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, Tegal, adalah salah satu ulama dan tokoh besar yang dimiliki Indonesia, khususnya kota Tegal, Jawa Tengah. Setiap tokoh atau ulama yang berkunjung ke Indonesia biasanya selalu menyempatkan diri mengunjunginya. Demikian juga Habib Umar bin Hafidz, pemimpin Daarul Musthafa, Tarim Hadhramaut.

Namun demikian, beliau ibarat cemaran yang pucuknya tampak dari jauh tapi yang berada dibawahnya tidak melihatnya, artinya Nama Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff memang dikenal oleh banyak kalangan sampai mancanegara, tapi orang-orang di daerah sekitarnya sering tidak mengenal kealiman dan ketokohannya.

Habib Abdullah Al-kaff memang terkenal karena sikap tawadhu’nya. Ia tidak ingin menonjol, dan takut menjadi orang terkenal, sehingga dalam bersikap sangatlah hati-hati, dalam hidupnya hampir tidak punya musuh.

Masa kecilnya
Habib Abdullah Al-Kaff lahir di Cirebon (Jawa Barat) pada tanggal 27 Ramadhan 1340 H, bertepatan dengan 17 Mei 1922. Ayah beliau bernama Ahmad bin Abdullah Al-Kaff dimana ia mempunyai beberapa isteri. Dari Isteri pertamanya ia mendapatkan seorang anak bernama Abdurrahman. Dari Isteri kedua, ia mendapatkan tiga anak laki-laki yaitu Husein, Muhammad, dan Abdullah (Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, yang jadi pembahasan kali ini). Dari isteri ketiga, anaknya banyak juga, tapi yang laki-laki hanya satu, yaitu Umar. Sedangkan dari isteri keempat, ia mempunyai enam anak laki-laki.

Semua saudara Habib Abdullah Al-Kaff disekolahkan di Arab Saudi dan Yaman. Habib Abdullah Al-Kaff sendiri pada usia 11 dibawa oleh ayahnya ke Hadhramaut, tepatnya di Tarim. Selama enam tahun ia dititipkan pada kakeknya di kota Hajrain. Sebuah kota di kaki gunung yang banyak dihuni para wali mastur.

Pada umur 17 Tahun, beliau belajar di Rubath Tarim kepada Habib Umar Asy-Syathiri, yang sudah sepuh. Setelah Habib Umar Asy-Syathiri meninggal, ia melanjutkan belajarnya kepada Habib Abdullah As-Syathiri , anak Habib Umar Asy-Syathiri. Sepeninggal Habib Abdullah Asy-Syathiri, Rubath Tarim kini diasuh oleh Habib Salim Asy-Syathiri.

Habib Abdullah Al-Kaff sekelas dengan Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar. Gurunya waktu termasuk juga Habib Ali bin Abdullah bin Syihab.

Beliau mengambil kekhususan pada bidang fiqih. Tapi ia juga sangat menggandrungi sastra sehingga banyak tulisannya berbentuk syair.

Dewasa di Tegal
Pada usia 25 Tahun, Habib Abdullah kembali ke kota TEGAL, JAWA TENGAH. Kemudian ia menikah dan sehari-hari sebagai pedagang sarung tenun. Selain berdagang, ia juga menyisakan waktunya untuk mendidik anak-anaknya dan juga mengisi majelis taklim.

Habib Abdullah Al-Kaff bermukim di Kota Tegal. Sering ketika ada tamu yang berkunjugn ke Tegal, walau tamu itu bukan tamunya namun Habib Abdullah Al-Kaff merasa berkewajiban untuk menjamunya. Penghormatannya kepada tamu sungguh luar biasa. Kalau tamu itu tidak sempat dijamu hari itu, besoknya dipanggil untuk sarapan. Yang lebih mengherankan, kalau ada tamu, selalu saja ada kambing sebagai masakannya. Beliau pernah bilang, “Setiap manusia ada rizkinya, dan itu tidak akan pernah tertukar. Tidak mungkin kita memakan rizki orang karena sudah diatur oleh Allah SWT.”.

Beberapa tahun ia pernah tinggal di Condet, Jakarta. Karena keulamaannya, Habib Umar bin Hafidz, pengasuh Daarul Musthafa Tarim, menyempatkan diri untuk mengunjunginya di Condet, Jakarta guna meminta doa restu darinya.

Mendidik anak-anak
Habib Abdullah Al-Kaff termasuk tokoh habib yang sangat sukses dalam mendidik anak-ananya. Hampir semua putranya adalah ulama, pendidik, pendakwah yang istiqomah. Siapakah yang tidak kenal Habib Thohir Al-Kaff, Habib Ahmad Al-Kaff (Pengasuh PP Hikmatun Nur Jakarta), Habib Hamid, Habib Ali, dan Habib Muhammad Al-Kaff??.

Habib Abdullah Al-Kaff berharap semua anaknya bisa menjadi ulama. Salah seorang anaknya, Habib Muhammad dikirim ke Arab Saudi, Habib Muthahar dimasukkan di Pesantren Darul Hadits Malang, Habib Murtadha dikirim ke Arab Saudi, lalu ke Yaman, Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dan Habib Hamid Al-Kaff dikirim ke Makkah untuk berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki dan belajar disana selama tujuh tahun, sedangkan Habib Ahmad Al-Kaff belajar di Mesir sehingga meraih gelar Doktor disana, demikian juga si bungsu Habib Ali yang juga dikirim ke Mesir.

Walau demikian Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff tetap berikhtiar dalam membina anak-anaknya supaya menjadi alim, anak yang berilmu, dengan harapan kelak akan menjadi ulama. Apa yang dilakukannya adalah meneladani Rasulullah SAW yaitu mendidik anak-anaknya dengan tarbiyah dan uswatun hasanah (teladan baik) atas apa yang diajarkannya.

Setiap hari, Beliau mengumandangkan adzan di rumahnya, Jalan Duku Kota Tegal, Jawa Tengah. Mendengar adzan itu, anak-anaknya ikut bangun dan langsung mengambil wudhu. Satu keluarga itu kemudian shala Shubuh berjamaah. Usai shalat berjamaah, ia memberikan nasihat agama kepada anak-anak, hingga hari mulai terang.

Kebiasaan Habib Abdullah Al-Kaff yang tidak pernah hilang adalah mencium tangan orang yang bersalaman dengannya, walau itu anak kecil sekalipun. Nah, orang yang tahu maqam Habib Abdullah jadi saling mencium.

Soal Kesabaran, Beliau sangat luar biasa. Ketika mendapat ujian sakit yang cukup lama, sembilan tahun, tidak pernah sekalipun ia mengeluh.

Berpulang ke Rahmatullah..
Kota Tegal saat itu berkabung kehilangan salah satu tokoh ulama besar yang dimilikinya. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad 7 September 2008 bertepatan pada 7 Ramadhan 1429 H, pukul 04.00 di Condet, Jakarta Timur setelah dirawat dua hari di Rumah Sakit Haji Pondok Gede Jenazah sang ulama, Al-Maghfurlah Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, dimakamkan di pemakaman Al-Haddad, kota TEGAL, pada sore harinya.

Harapan dan Cita-Cita
Ada satu harapan Habib Abdullah yaitu mendirikan sebuah pesantren di Tegal. Ia berharap anak-anaknya dapat mewujudkan cita-cita itu. Kini rumah di Jalan Duku kota TEGAL yang ditinggalkannya menjadi kantor dan embrio berdirinya pesantren tersebut. “Insya Allah saya dan saudara-saudara yang lain akan mewujudkan harapan Abah,” kata Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff yang meski bertempat tinggal di Pekalongan, namun lebih banyak berkiprah dakwah di Kota Tegal.

SEMOGA ALLAH SWT MENEMPATKAN ALMARHUM PADA TEMPAT YANG TERBAIK DI SISI-NYA. AMIIN.

Disarikan dari berbagai sumber, diantaranya Majalah Alkisah No.21/Tahun VI/2008 dan No. 10/Tahun VII/2009 dengan berbagai perubahan.

Di kalangan kaum muslimin masih terdapat sebagian orang yang terlalu mudah melontarkan tuduhan kafir, musyrik, fasik dan sebagainya terhadap orang muslim lain hanya karena berbeda perndapat mengenai masalah-masalah tertentu. Sikap demikian disebabkan oleh kurangnya pengertian tentang hukum Syariat Islam. Atau mungkin orang yang dituduh itu dianggap tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dituntut oleh agama. Atau bisa juga tuduhan itu muncul dari sikap fanatic akibat taqlid buta dalam menghayati agama.

Jika sikap gegabah itu disebabkan karena kurangnya pengertian tentang hukum syari’at islam, cara mengatasinya tidak begitu sulit, yaitu dengan cara memberikan pengertian mengenai prinsip-prinsip ajaran agama islam dan hukum-hukum syari’at islam. Kalau disebabkan perasaan tidak puas melihat orang lain tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, motivasi ini baik, tetapi tidak diarahkan menurut jalur yang semestinya. Ia lupa bahwa untuk mendorong orang lain melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diperlukan cara-cara bijaksana dan tidak jemu-jemu memberikan peringatan dengan cara yang sebaik-baiknya. Jika ia merasa perlu berdiskusi maka diskusipun dengan cara yang baik. Sebagaimana tuntunan Alloh :


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah** dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS An Nahl : 125)

**Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Cara yang ditunjukkan oleh Al Qur’an itu lebih mudah dan lebih menjamin tercapainya kebijakan yang kita inginkan. Menempuh cara yang sebaliknya merupakan kekeliruan besar dan akan mendatangkan akibat fatal. Lain hal-nya kalau tuduhan kafir dilontarkan atas dasar fikiran ekstrim dan fanatisme taqlid buta. Persoalan tidak hanya sulit diatasi, bahkan amat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Lagi pula tidak sesuai dengan tuntunan Alloh dan teladan Rosul-Nya. Hal ini memerlukan pembahasan khusus, rumit dan mungkin berliku-liku, karena berkenaan dengan masalah kejiwaan, cara berfikir dan lain-lain.

Seorang yang menunaikan sholat dan kuajiban-kuajiban lainnya akan berusaha mengajak orang lain kejalan hidup lurus dan melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh. Orang yang demikian, tidak boleh diragukan keislamannya. Kalau dalam hal tertentu ia berbeda pandangan dengan kita karena tidak semadzhab dan kemudian kita tuduh kafir, sesungguhnya kita telah melakukan kesalahan besar, karena kita telah melakukan sesuatu yang dilarang Alloh.

Semua imam madzhab dan semua ulama diseluruh dunia islam telah bersepakat untuk melarang mengkafirkan kecuali jika ia mengingkari Alloh atau jelas-jelas mensekutukan-Nya dengan sesembahan lain atau mengingkari kenabian serta kerasulan Muhammad SAW, atau dengan sadar mengingkari sesuatu yang telah diwajibkan oleh agama Alloh atau mengingkari kitabulloh Al Qur’an dan sunnah Rosululloh yang diriwayatkan oleh hadits-hadits shohih yang kebenarannya telah diterima bulat oleh semua ulama islam.

Mengenai soal-soal yang diwajibkan oleh agama islam sebagai aqidah telah sama-sama diketahui. Yang terpokok adalah meyakini keesaan (Wahdaniyah) Alloh SWT, meyakini kenabian para rosul sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup dan terakhir, meyakini kepastian datangnya hari kiamat saat seluruh manusia dibangkitkan kembali, meyakini adanya hisap, meyakini adanya surga dan neraka. Mengingkari soal-soal pokok tersebut baru bisa diartikan kufur. Alasan apapun tidak bisa diterima dari seorang muslim untuk mengatakan “saya tidak tahu” untuk masalah pokok tersebut, kecuali baru saja masuk islam. Akan tapi setelah diberitahu, diberi pengertian, tidak ada alas an lagi baginya untuk menolak keyakinan tentang masalah terebut.

Menetapkan “kekufuran” seseorang berdasarkan alasan-alasan selain tersebut diatas adalah tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya. Dalam sebuah hadits berasal dari Abu Hurairoh ra. dan diriwayatkan oleh Al Bukhari, rosululloh bersabda (artinya), jika ada orang yang berkata kepada saudaranya; “hai kafir!” maka salah satu diantara dua orang itu adalah kafir.”

Yang dimaksud hadits tersebut adalah orang yang disebut kafir itu memang benar-benar kafir, atau jika yang disebut kafir itu orang muslim maka yang menyebut itu sendirilah yang telah berbuat kufur.

Menilai kekufuran seseorang tidak boleh dilakukan oleh siapapun kecuali atas dasar dalil-dalil hukum syara’ yang sah. Menetapkan kekufuran seseorang berdasarkan dugaan yang tidak terbukti kebenarannya menurut syara’, atau hanya berdasarkan dugaan, sangkaan atau perkiraan belaka, sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Mengobral tuduhan semacam itu pasti akan mengacaukan keadaan dan merusak persatuan umat islam, bahkan orang lain enggan mendekati kebenaran Islam.

Seorang muslim yang berbuat maksiatpun tidak boleh dituduh sebagai kafir selagi ia masih tetap beriman dan mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sebuah hadits dari Anas bin Malik ra. Rosululloh saw bersabda (artinya) “Tiga perkara termasuk pokok keimanan; 1. Tidak memusuhi orang yang telah mengucapkan “Tiada Tuhan selain Alloh” (la ilaaha illalloh) dan tidak mengkafirkannya karena berbuat dosa dan tidak mengeluarkannya dari Isalm karena suatu perbuatan. 2. Perjuangan berlaku terus sejak Alloh mengutusku hingga saat umatku yang terakhir memerangi dajjal. Perjuangan itu tidak boleh ditiadakan oleh orang yang dzolim ataupun oleh orang adil. 3. Meyakini takdir Ilahi (HR Abu Dawud).

Imam Al Haramain (Abdul Ma’ali Al-Juwaini) mengatakan; Seandainya ada yang minta kepada saya supaya merumuskan hukum syara’ yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan kekufuran seseorang, pasti saya jawab; Itu merupakan fikiran yang tidak pada tempatnya. Sebab persoalan itu terlalu jauh jangkauannya, persoalan gawat yang pemecahannya harus bersumber pada prinsip tauhid dan orang yang ilmunya tidak mencapai puncak hakekat kebenaran, ia tidak akan memperoleh dalil-dalil pemikiran yang kokoh.

Imam ‘Ali bin Abi Tholib ra. ketika ditanya sahabatnya tentang kedudukan kaum khowarij; Apakah mereka itu orang-orang kafir?, beliau menjawab; Bukan, mereka justru orang-orang yang menjauhkan diri dari kekufuran. Apakah mereka itu orang munafik? Beliau menjawab; Bukan, orang-orang munafik hanya sedikit berdzikir (menyebut nama Alloh), mereka justru orang-orang yang banyak berdzikir. Lantas apa mereka itu? Beliau menjawab; Mereka adalah orang yang dilanda fitnah sehingga menjadi buta dan tuli.

Al Buhkari mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh oleh Abu Dzibyan, bahwa Usamah bin Zaid berkata (artinya) “Pada suatu peperangan, Rosululloh SAW memerintahkan kami menyergap tempat persembunyian musuh. Setelah mereka kalahkan, ada satu orang yang coba melarikan diri. Aku bersama seorang Anshor mengejarnya, tetapi setelah kami tangkap, ia mengucapkan La ilaaha illalloh. Karena temanku tidak mau membunuhnya, kuhujamkan tombakku kepada orang dari pasukan musuh itu hingga mati. Ketika aku menghadap Rosululloh SAW, ternyata beliau telah mendengar berita kejadian itu. Beliau bertanya; “Hai Usamah, benarkah engkau telah membunuhnya setelah dia mengucapkan La ilaha illalloh? Aku menjawab; Ya Rosululloh, ia hanya bermaksud menyelamatkan diri. Rosululloh bertanya lagi; Apakah engkau membelah hatinya, hingga engkau tau dia itu benar atau bohong? Selanjutnya Usamah berkata, sejak saat itu aku tidak membunuh lagi orang yang telah mengucapkan La ilaha illalloh.”

(HMH Al Hamid Al Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, 1997)
Tulisan ini saya kutip dari sebuah situs blog ini ajisetiawan1.blogspot.com

Sesama Muslim dilarang saling MENGKAFIRKAN

Posted by Admin

Di kalangan kaum muslimin masih terdapat sebagian orang yang terlalu mudah melontarkan tuduhan kafir, musyrik, fasik dan sebagainya terhadap orang muslim lain hanya karena berbeda perndapat mengenai masalah-masalah tertentu. Sikap demikian disebabkan oleh kurangnya pengertian tentang hukum Syariat Islam. Atau mungkin orang yang dituduh itu dianggap tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dituntut oleh agama. Atau bisa juga tuduhan itu muncul dari sikap fanatic akibat taqlid buta dalam menghayati agama.

Jika sikap gegabah itu disebabkan karena kurangnya pengertian tentang hukum syari’at islam, cara mengatasinya tidak begitu sulit, yaitu dengan cara memberikan pengertian mengenai prinsip-prinsip ajaran agama islam dan hukum-hukum syari’at islam. Kalau disebabkan perasaan tidak puas melihat orang lain tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, motivasi ini baik, tetapi tidak diarahkan menurut jalur yang semestinya. Ia lupa bahwa untuk mendorong orang lain melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diperlukan cara-cara bijaksana dan tidak jemu-jemu memberikan peringatan dengan cara yang sebaik-baiknya. Jika ia merasa perlu berdiskusi maka diskusipun dengan cara yang baik. Sebagaimana tuntunan Alloh :


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah** dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS An Nahl : 125)

**Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Cara yang ditunjukkan oleh Al Qur’an itu lebih mudah dan lebih menjamin tercapainya kebijakan yang kita inginkan. Menempuh cara yang sebaliknya merupakan kekeliruan besar dan akan mendatangkan akibat fatal. Lain hal-nya kalau tuduhan kafir dilontarkan atas dasar fikiran ekstrim dan fanatisme taqlid buta. Persoalan tidak hanya sulit diatasi, bahkan amat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Lagi pula tidak sesuai dengan tuntunan Alloh dan teladan Rosul-Nya. Hal ini memerlukan pembahasan khusus, rumit dan mungkin berliku-liku, karena berkenaan dengan masalah kejiwaan, cara berfikir dan lain-lain.

Seorang yang menunaikan sholat dan kuajiban-kuajiban lainnya akan berusaha mengajak orang lain kejalan hidup lurus dan melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh. Orang yang demikian, tidak boleh diragukan keislamannya. Kalau dalam hal tertentu ia berbeda pandangan dengan kita karena tidak semadzhab dan kemudian kita tuduh kafir, sesungguhnya kita telah melakukan kesalahan besar, karena kita telah melakukan sesuatu yang dilarang Alloh.

Semua imam madzhab dan semua ulama diseluruh dunia islam telah bersepakat untuk melarang mengkafirkan kecuali jika ia mengingkari Alloh atau jelas-jelas mensekutukan-Nya dengan sesembahan lain atau mengingkari kenabian serta kerasulan Muhammad SAW, atau dengan sadar mengingkari sesuatu yang telah diwajibkan oleh agama Alloh atau mengingkari kitabulloh Al Qur’an dan sunnah Rosululloh yang diriwayatkan oleh hadits-hadits shohih yang kebenarannya telah diterima bulat oleh semua ulama islam.

Mengenai soal-soal yang diwajibkan oleh agama islam sebagai aqidah telah sama-sama diketahui. Yang terpokok adalah meyakini keesaan (Wahdaniyah) Alloh SWT, meyakini kenabian para rosul sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup dan terakhir, meyakini kepastian datangnya hari kiamat saat seluruh manusia dibangkitkan kembali, meyakini adanya hisap, meyakini adanya surga dan neraka. Mengingkari soal-soal pokok tersebut baru bisa diartikan kufur. Alasan apapun tidak bisa diterima dari seorang muslim untuk mengatakan “saya tidak tahu” untuk masalah pokok tersebut, kecuali baru saja masuk islam. Akan tapi setelah diberitahu, diberi pengertian, tidak ada alas an lagi baginya untuk menolak keyakinan tentang masalah terebut.

Menetapkan “kekufuran” seseorang berdasarkan alasan-alasan selain tersebut diatas adalah tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya. Dalam sebuah hadits berasal dari Abu Hurairoh ra. dan diriwayatkan oleh Al Bukhari, rosululloh bersabda (artinya), jika ada orang yang berkata kepada saudaranya; “hai kafir!” maka salah satu diantara dua orang itu adalah kafir.”

Yang dimaksud hadits tersebut adalah orang yang disebut kafir itu memang benar-benar kafir, atau jika yang disebut kafir itu orang muslim maka yang menyebut itu sendirilah yang telah berbuat kufur.

Menilai kekufuran seseorang tidak boleh dilakukan oleh siapapun kecuali atas dasar dalil-dalil hukum syara’ yang sah. Menetapkan kekufuran seseorang berdasarkan dugaan yang tidak terbukti kebenarannya menurut syara’, atau hanya berdasarkan dugaan, sangkaan atau perkiraan belaka, sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Mengobral tuduhan semacam itu pasti akan mengacaukan keadaan dan merusak persatuan umat islam, bahkan orang lain enggan mendekati kebenaran Islam.

Seorang muslim yang berbuat maksiatpun tidak boleh dituduh sebagai kafir selagi ia masih tetap beriman dan mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sebuah hadits dari Anas bin Malik ra. Rosululloh saw bersabda (artinya) “Tiga perkara termasuk pokok keimanan; 1. Tidak memusuhi orang yang telah mengucapkan “Tiada Tuhan selain Alloh” (la ilaaha illalloh) dan tidak mengkafirkannya karena berbuat dosa dan tidak mengeluarkannya dari Isalm karena suatu perbuatan. 2. Perjuangan berlaku terus sejak Alloh mengutusku hingga saat umatku yang terakhir memerangi dajjal. Perjuangan itu tidak boleh ditiadakan oleh orang yang dzolim ataupun oleh orang adil. 3. Meyakini takdir Ilahi (HR Abu Dawud).

Imam Al Haramain (Abdul Ma’ali Al-Juwaini) mengatakan; Seandainya ada yang minta kepada saya supaya merumuskan hukum syara’ yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan kekufuran seseorang, pasti saya jawab; Itu merupakan fikiran yang tidak pada tempatnya. Sebab persoalan itu terlalu jauh jangkauannya, persoalan gawat yang pemecahannya harus bersumber pada prinsip tauhid dan orang yang ilmunya tidak mencapai puncak hakekat kebenaran, ia tidak akan memperoleh dalil-dalil pemikiran yang kokoh.

Imam ‘Ali bin Abi Tholib ra. ketika ditanya sahabatnya tentang kedudukan kaum khowarij; Apakah mereka itu orang-orang kafir?, beliau menjawab; Bukan, mereka justru orang-orang yang menjauhkan diri dari kekufuran. Apakah mereka itu orang munafik? Beliau menjawab; Bukan, orang-orang munafik hanya sedikit berdzikir (menyebut nama Alloh), mereka justru orang-orang yang banyak berdzikir. Lantas apa mereka itu? Beliau menjawab; Mereka adalah orang yang dilanda fitnah sehingga menjadi buta dan tuli.

Al Buhkari mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh oleh Abu Dzibyan, bahwa Usamah bin Zaid berkata (artinya) “Pada suatu peperangan, Rosululloh SAW memerintahkan kami menyergap tempat persembunyian musuh. Setelah mereka kalahkan, ada satu orang yang coba melarikan diri. Aku bersama seorang Anshor mengejarnya, tetapi setelah kami tangkap, ia mengucapkan La ilaaha illalloh. Karena temanku tidak mau membunuhnya, kuhujamkan tombakku kepada orang dari pasukan musuh itu hingga mati. Ketika aku menghadap Rosululloh SAW, ternyata beliau telah mendengar berita kejadian itu. Beliau bertanya; “Hai Usamah, benarkah engkau telah membunuhnya setelah dia mengucapkan La ilaha illalloh? Aku menjawab; Ya Rosululloh, ia hanya bermaksud menyelamatkan diri. Rosululloh bertanya lagi; Apakah engkau membelah hatinya, hingga engkau tau dia itu benar atau bohong? Selanjutnya Usamah berkata, sejak saat itu aku tidak membunuh lagi orang yang telah mengucapkan La ilaha illalloh.”

(HMH Al Hamid Al Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, 1997)
Tulisan ini saya kutip dari sebuah situs blog ini ajisetiawan1.blogspot.com



Menjadikan Fikih Sebagai Pemikiran Sosial yang Dinamis.
Kiai Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren. Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk
pribadi dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar,
dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas.

Membaca riwayat hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya.
Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di "singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya, bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan kepedulian yang tinggi.

Bidang ekonomi rakyat.
Kredibilitas keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh
masyarakat, tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan
terpilihnya beliau sebagai Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional
terbukti dengan terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada 2000. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan
prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam
menyikapi berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411),
tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.


Dia lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937, putra KH.
Mahfud Salam dan memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin. Ia
memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-
1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun
belajar di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare,
Kediri, Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-x.960 d
belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada
pertengahan tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan
langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya
diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Hampir seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961
Kiai Sahal sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia
menjadi dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi
dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak.
Syariah LAIN Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor
Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi
kolomnis tetap di majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap
di Harian Suara Merdeka (Jateng). Meski dia memiliki kesibukan sebagai
Rais'Am NU dan Ketua Umum MUI serta sebagai Rektor UNISNU, dia tetap
menjadi pengasuh pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati. Kiai Sahal aktif di
organisasi massa keagamaan, pertama-tama di NU sebagai Katib Syuriah Partai
NU Cabang Pati pada 1967-1975, sampai kemudian dia menduduki jabatan
tertinggi dalam organisasi ini, yakni sebagai Rais Am Syuriah PB NU untuk
periode 1999-2004. Dalam waktu yang hampir bersamaan dia terpilih menjadi
Ketua Umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005. Dalam posisinya sebagai
Ketua Umum MUI ini dia secara ex officio menjadi Ketua Dewan Syari'ah
Nasional (DSN), sebuah lembaga yang berfungsi memberikan fatwa, kontrol dan
rekomendasi tentang produk-produk lembaga keuangan syariah dan lembaga
bisnis syari'ah.
Kiai Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi
yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah
ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan
sebagian karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih
Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).

Pengembangan Ilmu Fikih

Pemikiran KHM A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya
menunjukkan bahwa dia mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah,
penanganan zakat, dinamika dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada
masalah pengentasan kemiskinan. Di luar itu semua, kontribusi pemikiran yang
paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Concern
utamanya adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan
kondisi sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya
menggali fikih sosial dari pergulatan nyata antara "kebenaran agama" dan
realitas sosial yang senantiasa timpang. Menurutnya, fikih selalu menjumpai
konteks dan realitas yang bersifat dinamis.

sumber: www.nu.or.id







KH.A. SAHAL MAHFUDZ

Posted by Admin



Menjadikan Fikih Sebagai Pemikiran Sosial yang Dinamis.
Kiai Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren. Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk
pribadi dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar,
dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas.

Membaca riwayat hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya.
Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di "singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya, bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan kepedulian yang tinggi.

Bidang ekonomi rakyat.
Kredibilitas keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh
masyarakat, tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan
terpilihnya beliau sebagai Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional
terbukti dengan terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada 2000. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan
prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam
menyikapi berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411),
tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.


Dia lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937, putra KH.
Mahfud Salam dan memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin. Ia
memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-
1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun
belajar di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare,
Kediri, Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-x.960 d
belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada
pertengahan tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan
langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya
diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Hampir seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961
Kiai Sahal sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia
menjadi dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi
dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak.
Syariah LAIN Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor
Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi
kolomnis tetap di majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap
di Harian Suara Merdeka (Jateng). Meski dia memiliki kesibukan sebagai
Rais'Am NU dan Ketua Umum MUI serta sebagai Rektor UNISNU, dia tetap
menjadi pengasuh pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati. Kiai Sahal aktif di
organisasi massa keagamaan, pertama-tama di NU sebagai Katib Syuriah Partai
NU Cabang Pati pada 1967-1975, sampai kemudian dia menduduki jabatan
tertinggi dalam organisasi ini, yakni sebagai Rais Am Syuriah PB NU untuk
periode 1999-2004. Dalam waktu yang hampir bersamaan dia terpilih menjadi
Ketua Umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005. Dalam posisinya sebagai
Ketua Umum MUI ini dia secara ex officio menjadi Ketua Dewan Syari'ah
Nasional (DSN), sebuah lembaga yang berfungsi memberikan fatwa, kontrol dan
rekomendasi tentang produk-produk lembaga keuangan syariah dan lembaga
bisnis syari'ah.
Kiai Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi
yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah
ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan
sebagian karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih
Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).

Pengembangan Ilmu Fikih

Pemikiran KHM A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya
menunjukkan bahwa dia mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah,
penanganan zakat, dinamika dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada
masalah pengentasan kemiskinan. Di luar itu semua, kontribusi pemikiran yang
paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Concern
utamanya adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan
kondisi sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya
menggali fikih sosial dari pergulatan nyata antara "kebenaran agama" dan
realitas sosial yang senantiasa timpang. Menurutnya, fikih selalu menjumpai
konteks dan realitas yang bersifat dinamis.

sumber: www.nu.or.id








Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kota Makassar? Pastilah yang ada hanyalah kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara seperti yang sering diberitakan di media massa. Itulah imej yang ada pada beberapa orang saat ini. Namun kenyataanya kota Makassar tidak seseram yang dibayangin orang. Dan bila ditelusuri, di kota Makassar ini terdapat seorang Habib yang menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar dan sekitarnya.
Beliau adalah Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid yang lahir dan dibesarkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan 42 tahun yang lalu. Beliau merupakan figur yang tidak asing lagi bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya kota Makassar. Bisa dibilang bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi Makassar serta dakwah dan mahabbah kepada Rasulullah SAW.
Habib yang meraih gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (FE UMI) Makassar ini sekitar tahun 2001 memutuskan untuk fokus berdakwah dan mendirikan Majelis Taklim dan Dzikir Al-Mubarak. “Awalnya yang mengaji dua-tiga orang,” kenangnya.
Bertempat di kediamannya, Jalan Tinumbu 19 Panampu Kota Makassar, Habib Mahmud memberikan dakwahnya kepada masyarakat melalui Majelis Al-Mubarak yang dirintisnya. Majelis Al-Mubarak ini mempunyai jadwal majelis mingguan setiap Malam Jum’at jam 18.00 WITA yang acaranya berupa pembacaan Ratib Al-Haddad dan Maulid Ad-Diba’i disertai taushiyahnya. Namun dalam perkembangannya, sering juga dibacakan Maulid Simthud Durar dan Maulid Al-Burdah. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat menjadi tidak bosan dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.


Alhamdulillah dari waktu ke waktu yang ikut majelis Taklim pun semakin banyak. Disamping itu kegiatan majelis Al-Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya taklim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim. Setiap tahun juga diadakan Tabligh akbar dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar.
Bagi masyarakat kota Makassar dan sekitarnya, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang tidak mengetahui apa itu Habib, apa itu ahlulbayt. Namun perlahan tapi pasti, berbagai kegiatan yang dilakukan Habib Mahmud yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa. Ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mammiri tersebut. “Kita benar-benar memulai dari nol, jatuh bangun, dianggap bid’ah, dijauhi… Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah SAW sekarang semakin banyak jamaah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqomah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah SWT. Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz (Daarul Mushtofa). Habib Umar bin Hafidz ini merupakan salah satu tokoh yang sering menjadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Al-Mubarak. Beberapa Tahun yang lalu, Habib Umar berkunjung ke Daarul Musthofa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz dan alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan khususnya Makassar semakin berkembang luas dan semarak.
Menurut Habib Mahmud, metode di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di jawa habaib dan ulama melimpah, tapi disini jumlahnya sangat sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah kesini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi Program Habib Umar bin Hafidz yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar kemana-mana, jangan pilah-pilih medan dakwah,” ujarnya.

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid

Posted by Admin


Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kota Makassar? Pastilah yang ada hanyalah kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara seperti yang sering diberitakan di media massa. Itulah imej yang ada pada beberapa orang saat ini. Namun kenyataanya kota Makassar tidak seseram yang dibayangin orang. Dan bila ditelusuri, di kota Makassar ini terdapat seorang Habib yang menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar dan sekitarnya.
Beliau adalah Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid yang lahir dan dibesarkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan 42 tahun yang lalu. Beliau merupakan figur yang tidak asing lagi bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya kota Makassar. Bisa dibilang bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi Makassar serta dakwah dan mahabbah kepada Rasulullah SAW.
Habib yang meraih gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (FE UMI) Makassar ini sekitar tahun 2001 memutuskan untuk fokus berdakwah dan mendirikan Majelis Taklim dan Dzikir Al-Mubarak. “Awalnya yang mengaji dua-tiga orang,” kenangnya.
Bertempat di kediamannya, Jalan Tinumbu 19 Panampu Kota Makassar, Habib Mahmud memberikan dakwahnya kepada masyarakat melalui Majelis Al-Mubarak yang dirintisnya. Majelis Al-Mubarak ini mempunyai jadwal majelis mingguan setiap Malam Jum’at jam 18.00 WITA yang acaranya berupa pembacaan Ratib Al-Haddad dan Maulid Ad-Diba’i disertai taushiyahnya. Namun dalam perkembangannya, sering juga dibacakan Maulid Simthud Durar dan Maulid Al-Burdah. “Dengan berbagai variasi itu masyarakat menjadi tidak bosan dan mulai tertarik,” ujarnya penuh semangat.


Alhamdulillah dari waktu ke waktu yang ikut majelis Taklim pun semakin banyak. Disamping itu kegiatan majelis Al-Mubarak pun semakin beragam. Tidak hanya taklim dan dzikir, tapi juga mulai menyantuni anak yatim. Setiap tahun juga diadakan Tabligh akbar dan haul akbar pada bulan Muharram, lalu Rabi’ul Awwal ada Maulid Akbar.
Bagi masyarakat kota Makassar dan sekitarnya, acara seperti haul, pembacaan Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana muhibbin di Jawa. Bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang tidak mengetahui apa itu Habib, apa itu ahlulbayt. Namun perlahan tapi pasti, berbagai kegiatan yang dilakukan Habib Mahmud yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa. Ke depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin mendapat tempat di Bumi Anging Mammiri tersebut. “Kita benar-benar memulai dari nol, jatuh bangun, dianggap bid’ah, dijauhi… Tapi karena landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah SAW sekarang semakin banyak jamaah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Kuncinya, menurut Habib Mahmud, adalah istiqomah dan ikhlas, benar-benar ikhlas dalam mensyiarkan dan membela agama Allah SWT. Menurutnya, dakwah seperti ini pula yang dianjurkan oleh Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz (Daarul Mushtofa). Habib Umar bin Hafidz ini merupakan salah satu tokoh yang sering menjadi rujukan Habib Mahmud dan pernah beberapa kali mampir ke Majelis Al-Mubarak. Beberapa Tahun yang lalu, Habib Umar berkunjung ke Daarul Musthofa dan mendapatkan banyak pelajaran dari Habib Umar bin Hafidz dan alhamdulillah beliau termasuk yang sering mendoakan agar dakwah di Sulawesi Selatan khususnya Makassar semakin berkembang luas dan semarak.
Menurut Habib Mahmud, metode di Sulawesi Selatan belum seperti di Jawa yang sudah berlangsung dengan berbagai macam cara. “Kalau di jawa habaib dan ulama melimpah, tapi disini jumlahnya sangat sedikit. Tidak banyak orang tertarik untuk terjun dakwah kesini, padahal Habib Umar bin Hafidz sudah memerintahkan muridnya agar terjun ke Sulawesi Selatan. Kita harus masuk ke kampung-kampung, karena kita berdakwah prioritasnya ke orang yang tidak paham. Jadi Program Habib Umar bin Hafidz yang terjun ke medan-medan berat, mudah-mudahan diikuti oleh anak muridnya. Anak muridnya harus menyebar kemana-mana, jangan pilah-pilih medan dakwah,” ujarnya.

Latest Tweets

Visitor

Labels

Pages

Random Post

BUKU TAMU

Two col-left

Software

Followers

What they says

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified
Copyright © 2013 Wong Tegal. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top