What's New Here?


TURUT BERDUKA CITA SEDALAM-DALAMNYA ATAS MENINGGALNYA GURU KITA ROMO KYAI HAJI AHMAD ASRORI AL-ISHAQI

Mursyid (guru) Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah Jawa Timur dan pengasuh Pesantren Al-Fitroh, Kedinding Lor, Semampir, Surabaya K.H. Ahmad Asrori Utsman Al-Ishaqi, meninggal dunia, selasa, sekitar pukul 02.20 WIB. KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pada pukul 02.20 WIB karena sakit komplikasi yang dideritanya selama ini. Dia sempat dioperasi dan menjalani check up di Singapura sebelum meninggal dunia.

Kita kehilangan ulama dan guru yang aktif mengembangkan ajaran `Ahlussunnah wal Jamaah` melalui tarekat

Kyai Asrori merupakan putra keenam dari mursyid tarekat KH. Utsman yang merupakan generasi penerus ayahandanya untuk mengajar tarekat kepada masyarakat, sehingga jemaahnya mencapai puluhan ribu orang.

Beliau memang sudah lama sakit, bahkan akhir-akhir ini beliau sudah tidak boleh keluar rumah, karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Tapi beliau selalu hadir dalam kegiatan PW NU Jatim, meski bukan pengurus struktural, karena itu kita sangat kehilangan.

Kyai Asrori merupakan ulama kharismatik yang ikhlas dan jujur dalam mengembangkan tarekat, karena itu jemaahnya berasal dari berbagai kalangan mulai dari petani hingga pejabat, bahkan dia tidak membedakan penghormatan kepada jemaah yang bertamu.


Beliau mampu menyatukan umat dari seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara lewat tarekat. Kalau ceramah, beliau sangat menyejukkan.

Almarhum mengasuh ratusan santri di Pesantren Al-Fitroh yang berdiri di atas lahan seluas 2,5 hektare yang memiliki bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri, dan bangunan masjid yang cukup besar.

Meninggalnya pimpinan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, KH Achmad Asrori El Ishaqi RA pada Selasa (18/8/2009) membuat ribuan santri dan jamaahnya kehilangan sosok kharismatik. Tidak sedikit pula yang harus meneteskan air mata.

Ribuan jamaah dari seluruh pelosok Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong dan Australia berdatangan dan memenuhi masjid areal ponpes untuk melantunkan doa tahlil dan Yasinan di depan pusara makam Pimpinan Tarekat Qodiriyah Wanaqsabandiyah Al Usmaniyah.

Arus lalu lintas pun padat. Jalan Kedinding Lor dipenuhi oleh lautan manusia yang beranjak pergi dari ponpes usai melayat Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pukul 02.20 WIB, Selasa (18/8/2009) dini hari tadi.

KH Asrori meninggalkan satu orang istri bernama Hj Sulistyowati dan lima orang anak (2 laki, 3 putri). Yakni, Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien dan Siela Assabarina.

Beliau meninggal sekitar pukul 02.00 dini hari tadi dan dimakamkan di dalam serambi masjid kompleks ponpes pukul 10.00. Sebelumnya, mengalami sakit komplikasi dan kanker yang dideritanya selama 4 tahun. Sejak 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, beliau dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya.

Berapa usia KH Asrori saat meninggal? Uniknya, tidak ada satu pun kerabat atau orang dekat yang berani memastikan kapan tanggal lahir KH Asrori dan meninggal di usia berapa. Pasalnya, berdasarkan pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, KH Asrori memiliki tiga buah paspor dan tanggal lahir yang berbeda-beda.


Ponpes Assalafi Al Fithrah, menurut Wisjnubroto, berdiri sekitar tahun 1988-1989. Memiliki santri yang bermukim di areal ponpes sebanyak 1.800 orang putra-putri. Tetapi, di luar ponpes jumlahnya puluhan ribu orang hingga luar negeri.

Seusai acara Haul Akbar di Ponpes Al-Fithrah pada 25-26 Juli 2009 lalu, kesehatan beliau mengalami penurunan dan mengaku kelelahan. Oleh karena itu, pada 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, KH Asrori dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Pada 16 Agustus 2009, beliau pulang ke rumah dan pada hari Selasa (18/8/2009) dini hari dipanggil Allah SWT.

Sejumlah karangan bunga dukacita juga banyak terpasang di kediaman dan masjid ponpes. Di antaranya dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam, Kapolwil Kombes Pol Roni F Sompie, Kapolres Surabaya Timur AKBP Samudi, Walikota Surabaya Bambang DH, Wawali Arif Afandi, Sekkota Surabaya Soekamto Hadi, Kakanwil Depag Jatim Imam Haromain dan Kapolda Sumut Irjen Pol Badrodin Haiti. Gubernur Jatim Soekarwo pun mendatangi rumah duka KH Achmad Asrori di Kedinding Lor bersama sejumlah pejabat Pemprov Jatim diantaranya Asisten III Akmal Budianto, Kepala Biro Spritual Torik Effendi.


Prosesi pemakaman Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di Kedinding Lor KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi diwarnai adu dorong santri dan petakziyah. Mereka berebut agar bisa menyentuh keranda jenazah kiai kharimastik itu. Saat keranda berisi jenazah KH ASRORI diusung menuju ke pemakamannya di bagian Barat kompleks Masjid Ponpes Sallafiyah Al Fitrahm ribuan santri dan pelayat berebut hendak memegangnya. Bahkan sampai kyai tersebut dimakamkan, masih banyak pelayat yang juga ingin membawa tanah pemakamannya.

Para panitia prosesi pemakaman kewalahan menahan aksi saling dorong antara santri dan para pelayat. Panitia meminta kepada santri dan petakziyah untuk kembali duduk sambil membacakan zikir dan tahlil.

Usai disalati, jenazah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Al Fithrah pada pukul 10.30 WIB, Selasa (18/8/2009).


Kiai Asrori dikenal sebagai kiai thoriqot di lingkungan NU. Umatnya mencapai ribuan dan aktifitas thoriqot yang dipimpinnya seringkali digelar di berbagai kota di Pulau Jawa maupun provinsi lainnya di Indonesia. Selama ini, beliau itu cukup lama sakit kendati usianya belum begitu tua. Ya sekitar 59 tahun atau 60 tahun.

Kita menyatakan duka cita mendalam atas wafatnya tokoh thoriqot tersebut. Kiai Asrori adalah ulama kharismatik, menjadi panutan ribuan umat, dan istiqomah dengan pengabdiannya kepada masyarakat.

Sebagai tokoh strategis bidang thoriqot fatwa dan pandangan Kiai Asrori sangat diperhatikan dan dipatuhi umatnya. Thoriqot yang dipimpinnya bersifat apolitis. Yang diutamakan adalah membina masyarakat melalui jalur kultural, sosial, dan keagamaan serta jauh dari tarikan politik kekuatan mana pun.

Kegiatan thoriqot yang dilakukan Kiai Asrori itu adalah wujud aplikasi tasawuf yang sangat dijunjung tinggi di kalangan kiai dan warga NU. Sanadnya itu sampai ke Syech Abdul Qodir Jaelani.

Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan maupun penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS Lafayat Malang


Sementara Jalan Kedinding Lor ditutup total. Pasalnya jalan itu dipadati oleh para pelayat maupun kendaraan baik roda dua dan roda empat. Bahkan di Jalan Kedung Cowek atau jalan akses menuju Jembatan Suramadu digunakan sebagai parkir kendaraan pelayat.

INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI’UUN…YAA.. ALLAH…GURU KAMI TELAH ENGKAU PANGGIL… SEMOGA ENGKAU AMPUNI DOSA-DOSA KAMI YAA.ALLAH…DAN ENGKAU JADIKAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA KAMI DENGAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA BELIAU YAA.. ALLAH..AMIIN.

SELAMAT JALAN YAI,,….

Berikut salah satu koleksi saya, ceramah kyai asrori al-ishaqi yg saya rekam dari Radio Rasika FM Semarang. (DOWNLOAD !!)













KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi Telah Berpulang ke Rahmatullah 18/08/09

Posted by Admin


TURUT BERDUKA CITA SEDALAM-DALAMNYA ATAS MENINGGALNYA GURU KITA ROMO KYAI HAJI AHMAD ASRORI AL-ISHAQI

Mursyid (guru) Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah Jawa Timur dan pengasuh Pesantren Al-Fitroh, Kedinding Lor, Semampir, Surabaya K.H. Ahmad Asrori Utsman Al-Ishaqi, meninggal dunia, selasa, sekitar pukul 02.20 WIB. KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pada pukul 02.20 WIB karena sakit komplikasi yang dideritanya selama ini. Dia sempat dioperasi dan menjalani check up di Singapura sebelum meninggal dunia.

Kita kehilangan ulama dan guru yang aktif mengembangkan ajaran `Ahlussunnah wal Jamaah` melalui tarekat

Kyai Asrori merupakan putra keenam dari mursyid tarekat KH. Utsman yang merupakan generasi penerus ayahandanya untuk mengajar tarekat kepada masyarakat, sehingga jemaahnya mencapai puluhan ribu orang.

Beliau memang sudah lama sakit, bahkan akhir-akhir ini beliau sudah tidak boleh keluar rumah, karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Tapi beliau selalu hadir dalam kegiatan PW NU Jatim, meski bukan pengurus struktural, karena itu kita sangat kehilangan.

Kyai Asrori merupakan ulama kharismatik yang ikhlas dan jujur dalam mengembangkan tarekat, karena itu jemaahnya berasal dari berbagai kalangan mulai dari petani hingga pejabat, bahkan dia tidak membedakan penghormatan kepada jemaah yang bertamu.


Beliau mampu menyatukan umat dari seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara lewat tarekat. Kalau ceramah, beliau sangat menyejukkan.

Almarhum mengasuh ratusan santri di Pesantren Al-Fitroh yang berdiri di atas lahan seluas 2,5 hektare yang memiliki bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri, dan bangunan masjid yang cukup besar.

Meninggalnya pimpinan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, KH Achmad Asrori El Ishaqi RA pada Selasa (18/8/2009) membuat ribuan santri dan jamaahnya kehilangan sosok kharismatik. Tidak sedikit pula yang harus meneteskan air mata.

Ribuan jamaah dari seluruh pelosok Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong dan Australia berdatangan dan memenuhi masjid areal ponpes untuk melantunkan doa tahlil dan Yasinan di depan pusara makam Pimpinan Tarekat Qodiriyah Wanaqsabandiyah Al Usmaniyah.

Arus lalu lintas pun padat. Jalan Kedinding Lor dipenuhi oleh lautan manusia yang beranjak pergi dari ponpes usai melayat Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi meninggal dunia pukul 02.20 WIB, Selasa (18/8/2009) dini hari tadi.

KH Asrori meninggalkan satu orang istri bernama Hj Sulistyowati dan lima orang anak (2 laki, 3 putri). Yakni, Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien dan Siela Assabarina.

Beliau meninggal sekitar pukul 02.00 dini hari tadi dan dimakamkan di dalam serambi masjid kompleks ponpes pukul 10.00. Sebelumnya, mengalami sakit komplikasi dan kanker yang dideritanya selama 4 tahun. Sejak 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, beliau dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya.

Berapa usia KH Asrori saat meninggal? Uniknya, tidak ada satu pun kerabat atau orang dekat yang berani memastikan kapan tanggal lahir KH Asrori dan meninggal di usia berapa. Pasalnya, berdasarkan pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, KH Asrori memiliki tiga buah paspor dan tanggal lahir yang berbeda-beda.


Ponpes Assalafi Al Fithrah, menurut Wisjnubroto, berdiri sekitar tahun 1988-1989. Memiliki santri yang bermukim di areal ponpes sebanyak 1.800 orang putra-putri. Tetapi, di luar ponpes jumlahnya puluhan ribu orang hingga luar negeri.

Seusai acara Haul Akbar di Ponpes Al-Fithrah pada 25-26 Juli 2009 lalu, kesehatan beliau mengalami penurunan dan mengaku kelelahan. Oleh karena itu, pada 29 Juli hingga 16 Agustus 2009, KH Asrori dirawat di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Pada 16 Agustus 2009, beliau pulang ke rumah dan pada hari Selasa (18/8/2009) dini hari dipanggil Allah SWT.

Sejumlah karangan bunga dukacita juga banyak terpasang di kediaman dan masjid ponpes. Di antaranya dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam, Kapolwil Kombes Pol Roni F Sompie, Kapolres Surabaya Timur AKBP Samudi, Walikota Surabaya Bambang DH, Wawali Arif Afandi, Sekkota Surabaya Soekamto Hadi, Kakanwil Depag Jatim Imam Haromain dan Kapolda Sumut Irjen Pol Badrodin Haiti. Gubernur Jatim Soekarwo pun mendatangi rumah duka KH Achmad Asrori di Kedinding Lor bersama sejumlah pejabat Pemprov Jatim diantaranya Asisten III Akmal Budianto, Kepala Biro Spritual Torik Effendi.


Prosesi pemakaman Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di Kedinding Lor KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi diwarnai adu dorong santri dan petakziyah. Mereka berebut agar bisa menyentuh keranda jenazah kiai kharimastik itu. Saat keranda berisi jenazah KH ASRORI diusung menuju ke pemakamannya di bagian Barat kompleks Masjid Ponpes Sallafiyah Al Fitrahm ribuan santri dan pelayat berebut hendak memegangnya. Bahkan sampai kyai tersebut dimakamkan, masih banyak pelayat yang juga ingin membawa tanah pemakamannya.

Para panitia prosesi pemakaman kewalahan menahan aksi saling dorong antara santri dan para pelayat. Panitia meminta kepada santri dan petakziyah untuk kembali duduk sambil membacakan zikir dan tahlil.

Usai disalati, jenazah KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Al Fithrah pada pukul 10.30 WIB, Selasa (18/8/2009).


Kiai Asrori dikenal sebagai kiai thoriqot di lingkungan NU. Umatnya mencapai ribuan dan aktifitas thoriqot yang dipimpinnya seringkali digelar di berbagai kota di Pulau Jawa maupun provinsi lainnya di Indonesia. Selama ini, beliau itu cukup lama sakit kendati usianya belum begitu tua. Ya sekitar 59 tahun atau 60 tahun.

Kita menyatakan duka cita mendalam atas wafatnya tokoh thoriqot tersebut. Kiai Asrori adalah ulama kharismatik, menjadi panutan ribuan umat, dan istiqomah dengan pengabdiannya kepada masyarakat.

Sebagai tokoh strategis bidang thoriqot fatwa dan pandangan Kiai Asrori sangat diperhatikan dan dipatuhi umatnya. Thoriqot yang dipimpinnya bersifat apolitis. Yang diutamakan adalah membina masyarakat melalui jalur kultural, sosial, dan keagamaan serta jauh dari tarikan politik kekuatan mana pun.

Kegiatan thoriqot yang dilakukan Kiai Asrori itu adalah wujud aplikasi tasawuf yang sangat dijunjung tinggi di kalangan kiai dan warga NU. Sanadnya itu sampai ke Syech Abdul Qodir Jaelani.

Almarhum meninggal kemungkinan besar karena faktor usia dan kelelahan maupun penyakit ginjal yang dideritanya meski sempat menjalani operasi di RS Lafayat Malang


Sementara Jalan Kedinding Lor ditutup total. Pasalnya jalan itu dipadati oleh para pelayat maupun kendaraan baik roda dua dan roda empat. Bahkan di Jalan Kedung Cowek atau jalan akses menuju Jembatan Suramadu digunakan sebagai parkir kendaraan pelayat.

INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI’UUN…YAA.. ALLAH…GURU KAMI TELAH ENGKAU PANGGIL… SEMOGA ENGKAU AMPUNI DOSA-DOSA KAMI YAA.ALLAH…DAN ENGKAU JADIKAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA KAMI DENGAN TAULADAN SIKAP, TINGKAH LAKU SERTA TUTUR KATA BELIAU YAA.. ALLAH..AMIIN.

SELAMAT JALAN YAI,,….

Berikut salah satu koleksi saya, ceramah kyai asrori al-ishaqi yg saya rekam dari Radio Rasika FM Semarang. (DOWNLOAD !!)













Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, (dekat Makassar) pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf.
Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak.
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.


Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.


SYEIKH YUSUF AL-MAKASSARI

Posted by Admin

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, (dekat Makassar) pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf.
Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak.
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.


Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.



Lahir: Al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nuruddin bin Haji Marbu bin Abdullah Thayyib حفظه الله dilahirkan pada tanggal 1 September 1960M di sebuah desa yang bernama Harus di Amuntai, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Anak ketiga dari tujuh bersaudara. Lahir dari sebuah keluarga yang taat beragama. Bonda beliau bernama Hajjah Rahmah binti Haji Muhammad Sobri (meninggal dunia pada 1984) adalah puteri dari seorang tokoh ulama besar di Kalimantan Selatan.

Pendidikan: Beliau belajar membaca la-Quran dari nenek beliau, ibu saudara beliau (Rokiah dan Zainab) dan kakak beliau (Ruminah). Manakala perdidikan formal beliau dapati di sekolah rendah di kampung Harus. Kemudian pada tahun 1974 beliau belajar di Pondok Pesantren Normal Islam – Rasyidiah Khalidiah - . Pengajian beliau disini tidak lama seluruh keluarga beliau telah berhijrah ke tanah suci Makkah dan menetap disana.

Pada tahun itu juga (1974) beliau meneruskan pengajiannya di Madrasah Shaulathiah al-Hindiyah [sejarah penubuhan madrasah ini boleh didapati disini] sehingga tahun 1982. Selain itu beliau juga mengikuti pengajian yang diadakan umum di Masjidiharam dan juga dirumah para masyaikh.

Pada tahun 1982 beliau telah menamatkan pengajiannya dengan kepujian mumtaz (cemerlang) di Madrasah Shaulathiah. Di samping belajar, beliau juga beliau turut mencurahkan ilmunya kepada para pelajar dari Indonesia. Beliau telah mengajarkan kitab Qatrunnada, Fathul Mu'in, 'Umdatussalik, Bidayatul Hidayah dan lain-lain sebelum naik ke kelas 'Aliyah.

Beliau merupakan murid kesayangan gurunya asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani رحمه الله . Dan guru inilah yang banyak mewarnai dalam kehidupan beliau. Tuan guru beliau ini banyak meluangkan waktunya yang berharga untuk beliau dan sering mengajak beliau untuk menemaninya ke Madinah bagi menghadiri program agama dan juga menziarahi maqam baginda Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Sewaktu menceritakan pada abuzahrah perihal Tuan Guru yang dikasihinya ini … beliau kelihatan sebak dan matanya kemerahan menahan sedih.

Beliau mencurahkan segala usaha dan tenaganya serta dirinya mendekati para masyaikh untuk berkhidmat dan juga membekali diri dengan ilmu daripada guru-gurunya. Pernah beliau berkata kepada abuzahrah, apa yang beliau nikmati kini adalah hasil dari keberkatan doa para masyaikh yang beliau telah berkhidmat kepada mereka. Dan kini beliau dapati pula apa yang pernah beliau berikan kepada para guru beliau dahulu.

Beliau amat gigih dalam belajar, maka tidak hairanlah kalau beliau mendapat tempat di hati para gurunya. Sebut sahaja ulama' yang ada di Mekah khususnya pasti beliau pernah berguru dengan mereka. Siapa yang tidak mengenali tokoh ulama' yang harum nama mereka disebut orang semisal Syaikh al-Allamah Hasan al-Masyath yang digelar Syaikh-ul-Ulama', Syaikh al-Allamah Muhammad Yasin al-Fadani, yang mendapat julukan Syaikhul Hadits wa Musnidud-dunya, Syaikh Ismail Usman Zin al-Yamani yang digelar al-Faqih ad-Darrakah (guru beliau ini menghafal kitab Minhajut Tholibin), Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili al-Anfanani, as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, Syaikh Said al-Bakistani dan masih banyak lagi. Kata pepatah arab “cakap sahaja tanpa perlu khuatir”.

Kitab-kitab yang dipelajari beliau bersambung sanadnya hingga kepada pengarang, masyaAllah betapa hebat dan beruntungnya umur beliau dan segala-galanya yang diberikan oleh Allah, tidak salah kalau dikatakan ilmu beliau lebih tua dari umurnya.

Pada tahun 1983 beliau telah melanjutkan pengajiannya di Universiti al-Azhar asy-Syarif dalam bidang syariah hingga mendapat gelar sarjana muda. Kemudian beliau meneruskan lagi pengajiannya di Ma'had 'Ali Liddirasat al Islamiah di Zamalik sehingga memperolehi diploma am “Dirasat 'Ulya” pada tahun 1990. Menurut beliau, perpindahan ke Mesir ini adalah kerana beliau dan beberapa orang lagi telah dihalang untuk mengajar pengajian di Masjidilharam kerana ketiadaan tauliah. Dan sekiranya mereka berkeras, maka mereka akan di tangkap oleh pihak berkuasa Saudi. Maka pada ketika itulah guru beliau menyarankan beliau untuk ke Mesir, belajar dan mengajar.

DiAntara guru-gurunya ketika belajar di Mekah adalah adalah:-

Syaikhul ‘Ulama al-‘Allamah asy-Syaikh Hasan bin Muhammad bin Abbas bin Ali bin ‘Abd al-Wahid al-Masyath رحمه الله (wafat pada hari Rabu, 7 Syawal 1399H) – Syaikh Nuruddin mengambil dari beliau secara wijadah dan munawalah kebanyakkan karangan beliau seperti Is’aaf ahl al-Iman, Is’aaf ahl Islam, Inarah ad-Duja fi Maghazi Khair al-Wara’, Tuhfah al-Sunniyah fi Ilm al-Faraid’, Nasaih Diniyyah wa Wasaya Hamah’ dan lain-lain. Syaikh Nuruddin juga sering menghadiri perhimpunan di dalam majlis-majlis yang diadakan di Ja’ranah, ‘Arafah, Tan’im dan Madinah. Syaikh Nuruddin menceritakan bahwa beliau sering bersama gurunya al-‘Allamah Syaikh Ismail Utsman Zain berziarah ke rumah al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath pada petang setiap hari Khamis. Mereka akan bersholat Maghrib bersama ulama tersohor ini dan tidak akan pulang melainkan setelah mendapat doa dan nasihat dari al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath. Dari Syaikh inilah beliau mendapat nasihat dan wasiat untuk sentiasa mengamalkan Sholawat Masyisiah.

Al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله (wafat 20 Dhulhijjah 1414H) – Syaikh yang banyak mendidik dan mencorak Syaikh Nuruddin. Antara kitab yang dibacakan pada ulama besar ini adalah Umdah as-Salik. Beliau juga meriwayatkan kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidhi, Sunan Nasai, Sunan Ibn Majah dan lain-lain

Al-‘Allamah al-Jalil, al-Faqih al-Fahhamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin Said bin Muhammad Ubadi al-Lahji رحمه الله (wafat di hospital an-Nur, Mekah, jam 10.50 hari Sabtu, 1410H) – dari ulama besar berasal dari Yaman ini, beliau belajar kitab Tafsir Ibn Katsir, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, al-Minhaj, Bulughul Maram, Matan Abu Syuja’, al-Idhoh, al-Qawaid al-Asasiyah dan lain-lain. Telah menjadi kebiasaan Syaikh ’Abdullah Said al-Lahji, selepas selesai pengajian akan bergaul dan beramah mesra dengan murid-muridnya. Beliau akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah lucu dan hikayat-hikayat lama yang mana iainya memberi kesan besar ke dalam jiwa murid-murid beliau dan mereka yang mengasihi beliau.

Syaikhul Hadits wa Musnidud Dunya al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani رحمه الله (wafat 28 Dhulqaedah 1410H) – Syaikh Nuruddin mengambil daripada beliau secara riwayat, ijazah dan wijadah dari kebanyakkan karangan, tsabat dan musalsal beliau.

DAN LAIN-LAIN,, SEBENARNYA MASIH BANYAK LAGI,,,,,,,,,,,

Menabur jasa dan menyandang gelaran ‘Azharus Tsani’. Setelah menamatkan pengajian di Universiti al-Azhar beliau menumpukan perhatiannya untuk mencurahkan ilmunya kepada ribuan para pelajar yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand yang menuntut di Universiti al Azhar sehingga beliau mendapat gelaran al Azharus Tsani (Azhar ke Dua) satu julukan yang terhormat dan tulus dari masyarakat Universiti al Azhar sendiri.

Beliau mengadakan kelas pengajian yang diberi nama “Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin” semenjak tahun 1987 sehingga 1998 yang mana buat pertama kalinya diadakan di rumah pelajar Johor dan rumah pelajar Pulau Pinang, di dewan rumah Kedah dan di dewan rumah Kelantan dan juga di Masjid Jami’ al Fath di Madinah Nasr. Di samping mengajar beliau juga menghasilkan kitab-kitab agama berbahasa Arab dalam pelbagai bidang yang banyak tersebar luas di Timur Tengah dan juga di negara Malaysia. Boleh dikatakan setiap para pelajar yang belajar di Al-Azhar Mesir semasa beliau berada di sana pernah menimba ilmu dari tokoh ulama' muda ini. Dan memanglah semenjak dari awal keterlibatannya dalam dunia ta'lim beliau telahpun menazarkan diri beliau untuk terus menjadi khadim (orang yang berkhidmat) untuk penuntut ilmu agama. Semoga Allah Ta’ala mengurniakan kesihatan dan ke'afiaatan kepada beliau serta keluarganya dan memberikan kesempatan yang seluasnya untuk beliau terus mencurahkan ilmu dan terus menghasilkan karya ilmiah.

Menghasilkan Karya Ilmiyah. Beliau telah melibatkan diri dalam dunia penulisan semenjak tahun 1991. Beliau telah menghasilkan karangan dan juga mentahqiq kitab-kitab mu'tabar tidak kurang daripada 50 buah karangan kebanyakkannya dalam bahasa Arab.

Majlis pengajian beliau di Malaysia: Pada tahun 1998 beliau telah diperlawa untuk mengajar di Maahad Tarbiah Islamiah (MTI), Derang Kedah, yang diasaskan oleh al-Marhum Ustaz Niamat bin Yusuf رحمه الله pada tahun 1980. Beliau tidak ubah umpama hujan yang menyuburkan bumi yang lama kehausan siramannya. Beliau menetap di MTI Derang hinggalah tahun 2002. Beliau merupakan tenaga pengajar yang utama lagi disegani yang banyak memperuntukkan masa beliau untuk para pelajar di Maahad 'Ali Littafaqquh Fiddin, Derang.

Di samping itu beliau juga dijemput mengadakan pengajian dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah. majlis-majlis perayaan agama malah suara beliau telah lantang bergema menyampaikan syiar agama di hotel-hotel, di pejabat kerajaan sama ada di negeri Kedah Pulau Pinang, Perak, Kelantan dan Terangganu. Setiap kali pengajian yang diadakan pasti akan bertambah jumlah hadirin yang tidak mahu ketinggalan menimba ilmu dan menerima siraman rohani daripada beliau.

Walaupun beliau sudah kembali ke Indonesia, namun sehingga kini majlis pengajian yang dipimpin beliau masih aktif di Selangor, Wilayah Persekutuan, Kedah, Pahang dan lain-lain. Dan beliau juga mengadakan daurah tahunan di Malaysia. Beliau juga di jemput untuk mengadakan majlis pengajian di Kalimantan dan Singapura.

Membuka pesantrennya sendiri. Selepas 4 tahun menabur bakti di bumi Kedah, akhirnya beliau pulang ke tempat asal kelahirannya untuk menubuhkan pesantren beliau sendiri di Kalimantan dan seterusnya pada tahun 2004 beliau mengasaskan Ma’had az-Zein al-Makki al-‘Ali Litafaqquh Fiddin di Ciampiea, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Nama pesantren ini adalah mengambil sempena nama guru kesayangan beliau al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله. Konsep pesantren beliau adalah “اجتماع القديم الصالح والحديث النافع” yang bermaksud menghimpunkan ilmu-ilmu dulu yang benar (yang berkat) dan ilmu-ilmu baru yang bermanfaat. Disinilah beliau menetap bersama-sama keluarganya sehingga kini. Dan di pesantren inilah beliau mendidik mencurahkan ilmunya dan mendidik bakal-bakal ulama muda untuk meneruskan kesinambungan ilmu yang berteraskan kepada sistem pengajian bersanad.

Diantara Keistimewaan beliau

* Yang pertama dan utama adalah beliau istiqamah dan tekun serta gigih dalam apa jua yang dikerjakannya, terutamanya didalam menuntut ilmu. Sehinggakan walaupun beliau sudah terkenal ‘alim, namun beliau masih mencatit ilmu atau maklumat baru yang beliau pelajari atau dengari dari ulama-ulama lain. Ini telah beberapa kali abuzahrah saksikan sendiri, seperti ketika rauhah Habib Umar sewaktu Multaqa Ulama di Bogor juga di dalam beberpa majlis yang beliau hadiri.
* Beliau mempunyai semangat yang luar biasa tinggi, tegas dengan prinsip dan berdisiplin tinggi, berwibawa, bersemangat ketika menyampaikan ilmu dan tidak pernah kelihatan letih walaupun jauh dan lama masa mengajar.
* Dalam menyampaikan ilmu mengaitkan masalah semasa dengan apa yang disampaikannya sungguh amat luar biasa dan amat memberi kesan sekali kepada para hadirin.
* Sangat menekankan adab-adab ketika belajar kepada murid-murid beliau, yang mana agak sukar didapati sekarang ini guru yang tegas di dalam adab belajar. Bahkan abuzahrah menyaksikan sendiri adab-adab yang beliau tekankan itu dipraktikkan oleh beliau tatkala beliau bertalaqqi atau berada di dalam majlis ilmu yang dipimpin ulama lain.
* Beliau akan duduk iftirasy atau tawarruq ketika mengajar walaupun berjam-jam lamanya dan beliau tidak pernah duduk bersila ketika mengajar. Beliau pernah katakan pada abuzahrah, insyaallah ana tidak anak mengangkat atau meninggikan kaki di hadapan orang lain, melainkan ketika makan kerana mengikut akan sunnah.


Bergambar bersama sebahagian peserta Daurah Tafaqquh Fiddin -1 di Pondok Tuan Guru Haji Salleh, Sik, Kedah pada tahun 2007


Irsyadat al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nurruddin: (Petikan ucapan sulung al-Fadhil Syaikh Muhammad Nuruddin hari pertama pengajian di kelas al-Ma'hadul ‘Ali Lit Tafaqquh Fiddin Derang, Kedah - pada hari Itsnin 9 Ramadhan 1419H bersamaan 28 Disember 1998 M.)

* Jangan tersilau dengan gelar PhD atau MA dan sebagainya. Penubuhan al Ma’hadul 'All Littafaqquh Fiddin ini untuk mendapat redha Allah dan membawa misi dan visi Nasratu Dinillah Taala dan Adda‘watu ilallah Menuntut ilmu untuk menolong agama Allah, bukan untuk sijil, syahadah atau untuk dunia serta pangkat.
* Terlalu murah kalau dengan ilmu hanya untuk mendapat gaji lumayan. Kalau belajar hanya untuk duit akan terhenti dengan duit, dapat duit tinggal ilmu.
* Tanggungjawab kita lah terhadap ilmu di tanahair khususnya dan seluruh dunia umumya.
* Siapkan diri untuk berkorban demi ilmu, agama. Ilmu untuk agama dan akhirat.
* Bekerjalah untuk Islam, jangan biarkan musuh Islam mengukut tanah umat Islam dikeranakan ulama kita tidur sedang kita asyik bertengkar sesama sendiri.
* Jadilah 'abidan lillah (hamba kepada Allah jangan 'abidan li makhluk (hamba kepada makhluk). Menuntut ilmu harus ikhlas baru berkat.
* Berakhlaklah dengan guru yang kita mengaji dengannya. Mohon restu guru, dekati dan dampingi mereka merupakan kunci dan rahsia keberhasilan.
* Hormatilah kitab-kitab, susun dengan baik dan terhormat, jangan letak sesuatu di atas kitab, membawa kitab jangan seperti menenteng ikan sahaja, dakapkan ke dada.
* Akhlak juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas Tafaqquh tapi tak berminat untuk beramal.
* Saya bukan seperti kebanyakan guru silat yang menyimpan langkah-langkah atau jurus-jurus maut yang mematikan dari diketahui murid-murid.

SUMBER: http://al-fanshuri-kenaliulama.blogspot.com/search/label/Ulama%60%20-%20Indonesia


SHEIKH NURUDDIN MARBU AL-BANJARI AL-MAKKI

Posted by Admin


Lahir: Al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nuruddin bin Haji Marbu bin Abdullah Thayyib حفظه الله dilahirkan pada tanggal 1 September 1960M di sebuah desa yang bernama Harus di Amuntai, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Anak ketiga dari tujuh bersaudara. Lahir dari sebuah keluarga yang taat beragama. Bonda beliau bernama Hajjah Rahmah binti Haji Muhammad Sobri (meninggal dunia pada 1984) adalah puteri dari seorang tokoh ulama besar di Kalimantan Selatan.

Pendidikan: Beliau belajar membaca la-Quran dari nenek beliau, ibu saudara beliau (Rokiah dan Zainab) dan kakak beliau (Ruminah). Manakala perdidikan formal beliau dapati di sekolah rendah di kampung Harus. Kemudian pada tahun 1974 beliau belajar di Pondok Pesantren Normal Islam – Rasyidiah Khalidiah - . Pengajian beliau disini tidak lama seluruh keluarga beliau telah berhijrah ke tanah suci Makkah dan menetap disana.

Pada tahun itu juga (1974) beliau meneruskan pengajiannya di Madrasah Shaulathiah al-Hindiyah [sejarah penubuhan madrasah ini boleh didapati disini] sehingga tahun 1982. Selain itu beliau juga mengikuti pengajian yang diadakan umum di Masjidiharam dan juga dirumah para masyaikh.

Pada tahun 1982 beliau telah menamatkan pengajiannya dengan kepujian mumtaz (cemerlang) di Madrasah Shaulathiah. Di samping belajar, beliau juga beliau turut mencurahkan ilmunya kepada para pelajar dari Indonesia. Beliau telah mengajarkan kitab Qatrunnada, Fathul Mu'in, 'Umdatussalik, Bidayatul Hidayah dan lain-lain sebelum naik ke kelas 'Aliyah.

Beliau merupakan murid kesayangan gurunya asy-Syaikh al-‘Allamah Ismail Utsman Zain al-Yamani رحمه الله . Dan guru inilah yang banyak mewarnai dalam kehidupan beliau. Tuan guru beliau ini banyak meluangkan waktunya yang berharga untuk beliau dan sering mengajak beliau untuk menemaninya ke Madinah bagi menghadiri program agama dan juga menziarahi maqam baginda Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Sewaktu menceritakan pada abuzahrah perihal Tuan Guru yang dikasihinya ini … beliau kelihatan sebak dan matanya kemerahan menahan sedih.

Beliau mencurahkan segala usaha dan tenaganya serta dirinya mendekati para masyaikh untuk berkhidmat dan juga membekali diri dengan ilmu daripada guru-gurunya. Pernah beliau berkata kepada abuzahrah, apa yang beliau nikmati kini adalah hasil dari keberkatan doa para masyaikh yang beliau telah berkhidmat kepada mereka. Dan kini beliau dapati pula apa yang pernah beliau berikan kepada para guru beliau dahulu.

Beliau amat gigih dalam belajar, maka tidak hairanlah kalau beliau mendapat tempat di hati para gurunya. Sebut sahaja ulama' yang ada di Mekah khususnya pasti beliau pernah berguru dengan mereka. Siapa yang tidak mengenali tokoh ulama' yang harum nama mereka disebut orang semisal Syaikh al-Allamah Hasan al-Masyath yang digelar Syaikh-ul-Ulama', Syaikh al-Allamah Muhammad Yasin al-Fadani, yang mendapat julukan Syaikhul Hadits wa Musnidud-dunya, Syaikh Ismail Usman Zin al-Yamani yang digelar al-Faqih ad-Darrakah (guru beliau ini menghafal kitab Minhajut Tholibin), Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili al-Anfanani, as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, Syaikh Said al-Bakistani dan masih banyak lagi. Kata pepatah arab “cakap sahaja tanpa perlu khuatir”.

Kitab-kitab yang dipelajari beliau bersambung sanadnya hingga kepada pengarang, masyaAllah betapa hebat dan beruntungnya umur beliau dan segala-galanya yang diberikan oleh Allah, tidak salah kalau dikatakan ilmu beliau lebih tua dari umurnya.

Pada tahun 1983 beliau telah melanjutkan pengajiannya di Universiti al-Azhar asy-Syarif dalam bidang syariah hingga mendapat gelar sarjana muda. Kemudian beliau meneruskan lagi pengajiannya di Ma'had 'Ali Liddirasat al Islamiah di Zamalik sehingga memperolehi diploma am “Dirasat 'Ulya” pada tahun 1990. Menurut beliau, perpindahan ke Mesir ini adalah kerana beliau dan beberapa orang lagi telah dihalang untuk mengajar pengajian di Masjidilharam kerana ketiadaan tauliah. Dan sekiranya mereka berkeras, maka mereka akan di tangkap oleh pihak berkuasa Saudi. Maka pada ketika itulah guru beliau menyarankan beliau untuk ke Mesir, belajar dan mengajar.

DiAntara guru-gurunya ketika belajar di Mekah adalah adalah:-

Syaikhul ‘Ulama al-‘Allamah asy-Syaikh Hasan bin Muhammad bin Abbas bin Ali bin ‘Abd al-Wahid al-Masyath رحمه الله (wafat pada hari Rabu, 7 Syawal 1399H) – Syaikh Nuruddin mengambil dari beliau secara wijadah dan munawalah kebanyakkan karangan beliau seperti Is’aaf ahl al-Iman, Is’aaf ahl Islam, Inarah ad-Duja fi Maghazi Khair al-Wara’, Tuhfah al-Sunniyah fi Ilm al-Faraid’, Nasaih Diniyyah wa Wasaya Hamah’ dan lain-lain. Syaikh Nuruddin juga sering menghadiri perhimpunan di dalam majlis-majlis yang diadakan di Ja’ranah, ‘Arafah, Tan’im dan Madinah. Syaikh Nuruddin menceritakan bahwa beliau sering bersama gurunya al-‘Allamah Syaikh Ismail Utsman Zain berziarah ke rumah al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath pada petang setiap hari Khamis. Mereka akan bersholat Maghrib bersama ulama tersohor ini dan tidak akan pulang melainkan setelah mendapat doa dan nasihat dari al-‘Allamah Syaikh Hasan Masyath. Dari Syaikh inilah beliau mendapat nasihat dan wasiat untuk sentiasa mengamalkan Sholawat Masyisiah.

Al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله (wafat 20 Dhulhijjah 1414H) – Syaikh yang banyak mendidik dan mencorak Syaikh Nuruddin. Antara kitab yang dibacakan pada ulama besar ini adalah Umdah as-Salik. Beliau juga meriwayatkan kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidhi, Sunan Nasai, Sunan Ibn Majah dan lain-lain

Al-‘Allamah al-Jalil, al-Faqih al-Fahhamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin Said bin Muhammad Ubadi al-Lahji رحمه الله (wafat di hospital an-Nur, Mekah, jam 10.50 hari Sabtu, 1410H) – dari ulama besar berasal dari Yaman ini, beliau belajar kitab Tafsir Ibn Katsir, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, al-Minhaj, Bulughul Maram, Matan Abu Syuja’, al-Idhoh, al-Qawaid al-Asasiyah dan lain-lain. Telah menjadi kebiasaan Syaikh ’Abdullah Said al-Lahji, selepas selesai pengajian akan bergaul dan beramah mesra dengan murid-muridnya. Beliau akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah lucu dan hikayat-hikayat lama yang mana iainya memberi kesan besar ke dalam jiwa murid-murid beliau dan mereka yang mengasihi beliau.

Syaikhul Hadits wa Musnidud Dunya al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani رحمه الله (wafat 28 Dhulqaedah 1410H) – Syaikh Nuruddin mengambil daripada beliau secara riwayat, ijazah dan wijadah dari kebanyakkan karangan, tsabat dan musalsal beliau.

DAN LAIN-LAIN,, SEBENARNYA MASIH BANYAK LAGI,,,,,,,,,,,

Menabur jasa dan menyandang gelaran ‘Azharus Tsani’. Setelah menamatkan pengajian di Universiti al-Azhar beliau menumpukan perhatiannya untuk mencurahkan ilmunya kepada ribuan para pelajar yang datang dari Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Singapura dan Thailand yang menuntut di Universiti al Azhar sehingga beliau mendapat gelaran al Azharus Tsani (Azhar ke Dua) satu julukan yang terhormat dan tulus dari masyarakat Universiti al Azhar sendiri.

Beliau mengadakan kelas pengajian yang diberi nama “Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin” semenjak tahun 1987 sehingga 1998 yang mana buat pertama kalinya diadakan di rumah pelajar Johor dan rumah pelajar Pulau Pinang, di dewan rumah Kedah dan di dewan rumah Kelantan dan juga di Masjid Jami’ al Fath di Madinah Nasr. Di samping mengajar beliau juga menghasilkan kitab-kitab agama berbahasa Arab dalam pelbagai bidang yang banyak tersebar luas di Timur Tengah dan juga di negara Malaysia. Boleh dikatakan setiap para pelajar yang belajar di Al-Azhar Mesir semasa beliau berada di sana pernah menimba ilmu dari tokoh ulama' muda ini. Dan memanglah semenjak dari awal keterlibatannya dalam dunia ta'lim beliau telahpun menazarkan diri beliau untuk terus menjadi khadim (orang yang berkhidmat) untuk penuntut ilmu agama. Semoga Allah Ta’ala mengurniakan kesihatan dan ke'afiaatan kepada beliau serta keluarganya dan memberikan kesempatan yang seluasnya untuk beliau terus mencurahkan ilmu dan terus menghasilkan karya ilmiah.

Menghasilkan Karya Ilmiyah. Beliau telah melibatkan diri dalam dunia penulisan semenjak tahun 1991. Beliau telah menghasilkan karangan dan juga mentahqiq kitab-kitab mu'tabar tidak kurang daripada 50 buah karangan kebanyakkannya dalam bahasa Arab.

Majlis pengajian beliau di Malaysia: Pada tahun 1998 beliau telah diperlawa untuk mengajar di Maahad Tarbiah Islamiah (MTI), Derang Kedah, yang diasaskan oleh al-Marhum Ustaz Niamat bin Yusuf رحمه الله pada tahun 1980. Beliau tidak ubah umpama hujan yang menyuburkan bumi yang lama kehausan siramannya. Beliau menetap di MTI Derang hinggalah tahun 2002. Beliau merupakan tenaga pengajar yang utama lagi disegani yang banyak memperuntukkan masa beliau untuk para pelajar di Maahad 'Ali Littafaqquh Fiddin, Derang.

Di samping itu beliau juga dijemput mengadakan pengajian dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah. majlis-majlis perayaan agama malah suara beliau telah lantang bergema menyampaikan syiar agama di hotel-hotel, di pejabat kerajaan sama ada di negeri Kedah Pulau Pinang, Perak, Kelantan dan Terangganu. Setiap kali pengajian yang diadakan pasti akan bertambah jumlah hadirin yang tidak mahu ketinggalan menimba ilmu dan menerima siraman rohani daripada beliau.

Walaupun beliau sudah kembali ke Indonesia, namun sehingga kini majlis pengajian yang dipimpin beliau masih aktif di Selangor, Wilayah Persekutuan, Kedah, Pahang dan lain-lain. Dan beliau juga mengadakan daurah tahunan di Malaysia. Beliau juga di jemput untuk mengadakan majlis pengajian di Kalimantan dan Singapura.

Membuka pesantrennya sendiri. Selepas 4 tahun menabur bakti di bumi Kedah, akhirnya beliau pulang ke tempat asal kelahirannya untuk menubuhkan pesantren beliau sendiri di Kalimantan dan seterusnya pada tahun 2004 beliau mengasaskan Ma’had az-Zein al-Makki al-‘Ali Litafaqquh Fiddin di Ciampiea, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Nama pesantren ini adalah mengambil sempena nama guru kesayangan beliau al-Faqih ad-Darakah al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh Ismail Utsman Zain al-Yamani al-Makki رحمه الله. Konsep pesantren beliau adalah “اجتماع القديم الصالح والحديث النافع” yang bermaksud menghimpunkan ilmu-ilmu dulu yang benar (yang berkat) dan ilmu-ilmu baru yang bermanfaat. Disinilah beliau menetap bersama-sama keluarganya sehingga kini. Dan di pesantren inilah beliau mendidik mencurahkan ilmunya dan mendidik bakal-bakal ulama muda untuk meneruskan kesinambungan ilmu yang berteraskan kepada sistem pengajian bersanad.

Diantara Keistimewaan beliau

* Yang pertama dan utama adalah beliau istiqamah dan tekun serta gigih dalam apa jua yang dikerjakannya, terutamanya didalam menuntut ilmu. Sehinggakan walaupun beliau sudah terkenal ‘alim, namun beliau masih mencatit ilmu atau maklumat baru yang beliau pelajari atau dengari dari ulama-ulama lain. Ini telah beberapa kali abuzahrah saksikan sendiri, seperti ketika rauhah Habib Umar sewaktu Multaqa Ulama di Bogor juga di dalam beberpa majlis yang beliau hadiri.
* Beliau mempunyai semangat yang luar biasa tinggi, tegas dengan prinsip dan berdisiplin tinggi, berwibawa, bersemangat ketika menyampaikan ilmu dan tidak pernah kelihatan letih walaupun jauh dan lama masa mengajar.
* Dalam menyampaikan ilmu mengaitkan masalah semasa dengan apa yang disampaikannya sungguh amat luar biasa dan amat memberi kesan sekali kepada para hadirin.
* Sangat menekankan adab-adab ketika belajar kepada murid-murid beliau, yang mana agak sukar didapati sekarang ini guru yang tegas di dalam adab belajar. Bahkan abuzahrah menyaksikan sendiri adab-adab yang beliau tekankan itu dipraktikkan oleh beliau tatkala beliau bertalaqqi atau berada di dalam majlis ilmu yang dipimpin ulama lain.
* Beliau akan duduk iftirasy atau tawarruq ketika mengajar walaupun berjam-jam lamanya dan beliau tidak pernah duduk bersila ketika mengajar. Beliau pernah katakan pada abuzahrah, insyaallah ana tidak anak mengangkat atau meninggikan kaki di hadapan orang lain, melainkan ketika makan kerana mengikut akan sunnah.


Bergambar bersama sebahagian peserta Daurah Tafaqquh Fiddin -1 di Pondok Tuan Guru Haji Salleh, Sik, Kedah pada tahun 2007


Irsyadat al-Fadhil Tuan Guru Syaikh Muhammad Nurruddin: (Petikan ucapan sulung al-Fadhil Syaikh Muhammad Nuruddin hari pertama pengajian di kelas al-Ma'hadul ‘Ali Lit Tafaqquh Fiddin Derang, Kedah - pada hari Itsnin 9 Ramadhan 1419H bersamaan 28 Disember 1998 M.)

* Jangan tersilau dengan gelar PhD atau MA dan sebagainya. Penubuhan al Ma’hadul 'All Littafaqquh Fiddin ini untuk mendapat redha Allah dan membawa misi dan visi Nasratu Dinillah Taala dan Adda‘watu ilallah Menuntut ilmu untuk menolong agama Allah, bukan untuk sijil, syahadah atau untuk dunia serta pangkat.
* Terlalu murah kalau dengan ilmu hanya untuk mendapat gaji lumayan. Kalau belajar hanya untuk duit akan terhenti dengan duit, dapat duit tinggal ilmu.
* Tanggungjawab kita lah terhadap ilmu di tanahair khususnya dan seluruh dunia umumya.
* Siapkan diri untuk berkorban demi ilmu, agama. Ilmu untuk agama dan akhirat.
* Bekerjalah untuk Islam, jangan biarkan musuh Islam mengukut tanah umat Islam dikeranakan ulama kita tidur sedang kita asyik bertengkar sesama sendiri.
* Jadilah 'abidan lillah (hamba kepada Allah jangan 'abidan li makhluk (hamba kepada makhluk). Menuntut ilmu harus ikhlas baru berkat.
* Berakhlaklah dengan guru yang kita mengaji dengannya. Mohon restu guru, dekati dan dampingi mereka merupakan kunci dan rahsia keberhasilan.
* Hormatilah kitab-kitab, susun dengan baik dan terhormat, jangan letak sesuatu di atas kitab, membawa kitab jangan seperti menenteng ikan sahaja, dakapkan ke dada.
* Akhlak juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas Tafaqquh tapi tak berminat untuk beramal.
* Saya bukan seperti kebanyakan guru silat yang menyimpan langkah-langkah atau jurus-jurus maut yang mematikan dari diketahui murid-murid.

SUMBER: http://al-fanshuri-kenaliulama.blogspot.com/search/label/Ulama%60%20-%20Indonesia


Latest Tweets

Visitor

Labels

Pages

Random Post

BUKU TAMU

Two col-left

Software

Followers

What they says

English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified
Copyright © 2013 Wong Tegal. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top